Kastara.ID, Jakarta – Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kubu Moeldoko terhadap Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampaknya punya motif politik beragam.

Hal itu diungkapkan M Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, kepada Kastara.ID, Selasa (4/4).

“Motif pertama, kubu Moeldoko tampaknya ingin menguasai Partai Demokrat. Kubu Moeldoko menggunakan alibi tidak menginginkan AHY memimpin Partai Demokrat,” jelas Jamil.

Keinginan itu sudah terlihat sejak dilaksanakannya Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dengan peserta yang tidak jelas, kubu Moeldoko memaksakan kongres tetap berjalan dengan satu tujuan untuk menguasai Partai Demokrat.

Namun Menteri Hukum dan HAM tidak mengakui hasil Kongres Deli Serdang. Akibatnya, kubu Moeldoko menggunakan jalur hukum yang masih berlangsung hingga saat ini.

“Dua, motif pengambilan Partai Demokrat tampaknya berkembang mengikuti dinamika politik di tanah air. Setelah Partai Demokrat resmi mengusung Anies Baswedan, kubu Moeldoko tampaknya semakin termotivasi untuk menguasai Partai Demokrat,” paparnya.

Menurut Jamil, kalau kubu Moeldoko dapat menguasai Partai Demokrat, maka peluang Anies maju akan tertutup. Sebab, Partai Demokrat bila dikuasai kubu Moeldoko sudah pasti tidak akan mendukung Anies, apalagi mengusungnya.

“Itu artinya, yang mengusung Aniea tinggal Nasdem dan PKS. Dua partai ini tidak cukup PT 20 persen, sehingga akan gagal mengusung Anies,” jelas pengamat yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta.

Jadi, lanjut Jamil, upaya PK yang dilakukan kubu Moeldoko tampaknya mengarah ke sana. Kubu Moeldoko akan berupaya maksimal untuk memenangkan PK agar motif menjegal Anies dapat terwujud.

Karena itu, persoalan PK yang diajukan kubu Moeldoko tidak hanya berkaitan dengan Partai Demokrat. Namun upaya itu dapat dimaknai juga untuk memenangkan Pilpres 2024.

Bahkan kalau motif tersebut terwujud, tidak menutup kemungkinan hanya ada satu pasangan yang maju pada Pilpres 2024. Pasangan itu bisa jadi yang diusung Koalisi Besar yang sekarang diupayakan pembentukannya oleh partai pendukung pemerintah. “Kalau ini terwujud, tidak menutup kemungkinan pada Pilpres 2024 pasangan capres yang diusung Koalisi Besar akan berhadapan dengan kotak kosong,” tandas Jamil.

Hal itu tentunya tak boleh terjadi, sebab merusak tatanan demokrasi yang sudah dibentuk. Jamil juga mengingatkan kepada pegiat demokrasi harus melawan upaya seperti itu sebagai wujud menjaga amanah reformasi.

“Negara ini tidak boleh diatur oleh orang-orang yang anti demokrasi. Mereka ini harus dilawan – apapun risikonya – agar demokrasi tetap bersemi di tanah air,” pungkas Jamil. (dwi)