Kastara.ID, Jakarta – Tim Hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, saat di Gedung Makamah Konstitusi (MK) menilai Bawaslu memang tidak willing (bersedia), dan mungkin memang tidak mau melakukan pengawasan yang efektif.

Hal itu diungkapkan oleh Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M Jamiluddin Ritonga dalam keterangannya kepada Kastara.ID, Kamis (4/4) pagi.

“Penilaian Todung itu tampaknya ada benarnya. Sebab, maraknya kecurangan pada Pilpres dan Pileg 2024 suka tidak suka karena lemahnya pengawasan dari Bawaslu dari pusat hingga tingkat kelurahan/desa,” papar Jamil.

Di lapangan, lanjutnya, suara serangan fajar bukan lagi sayup terdengar. Perilaku money politic seolah bukan lagi aib. Hal itu menjadi perbincangan peserta pemilu dan pihak pemilih secara bebas.

“Hal demikian seolah tak didengar Bawslu. Padahal orang awam saja yang ada di lapangan pada umumnya mengetahui hal itu,” imbuh pengamat yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Banyaknya sengketa Pileg dan Pilpres juga menjadi indikasi lemahnya kinerja Bawaslu dalam pengawasan. “Bawaslu bahkan terkesan pasif terhadap berbagai keluhan peserta pileg dan pilpres baik saat kampanye, saat pencoblosan, maupun paska pencoblosan,” tandasnya.

Padahal, kehadiran Bawaslu seharusnya akan membuat nyaman semua peserta pemilu. Bawaslu dan jajarannya diharapkan netral dalam mengawasi semua peserta pemilu.

“Kalau Bawaslu dapat melakukan pengawasan sesuai tugas dan fungsinya, maka setiap partai peserta pemilu tidak perlu menyediakan saksi di setiap TPS. Sebab pengadaan saksi sungguh memberatkan partai politik,” jelas Jamil.

Sebab, untuk mengamankan suara, setiap partai harus menyiapkan 823.220 saksi, sesuai jumlah TPS. Kalau setiap saksi dibayar Rp 300.000, maka setiap partai harus mengeluarkan dana saksi sebesar Rp 249.966.000.000.

Anggaran itu belum termasuk untuk saksi saat rekapitulasi di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Ini artinya, partai harus mengeluarkan dana yang cukup fantastis hanya karena fungsi pengawasan Bawaslu sangat lemah.

“Jadi, keberadaan Bawaslu harus ditinjau ulang. Ke depan Bawaslu harus dapat melakukan pengawasan lebih efisien dan efektif. Tujuannya agar semua partai tidak perlu lagi menyediakan saksi baik untuk Pileg maupun Pilpres,” lanjutnya.

“Kalau Bawaslu tidak mampu melakukan fungsinya dengan optimal, maka lembaga itu sebaiknya dibubarkan saja. Sebab, Bawaslu dengan alokasi anggaran yang besar namun tak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya,” pungkas Jamil. (dwi)