MRT

Kastara.ID, Jakarta – Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengatakan bahwa harus diakui pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini diinginkan masih belum tercapai. Dikatakannya, angka kemiskinan, pengangguran, dan gini ratio memang berkurang, namun angkanya harus lebih signifikan lagi.

Demikian diucapkan Maruarar Sirait dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan Parlemen DPR, yang mengangkat tema diskusi ‘Plus Minus Paket Menteri Ekonomi di Kabinet Jokowi’, di ruang Media Center, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/7).

“Selain itu penerimaan pajak juga tidak tercapai. Oleh karenanya harus ada keberanian menciptakan satu langkah yang luar biasa. Penerimaan negara 65 persen berasal dari pajak, kalau pajak itu tidak tercapai pasti efeknya tinggi kepada APBN. Kalau penerimaannya tidak tercapai, pasti pengeluarannya juga menjadi tidak maksimal dan hutang negara juga akan bertambah,” tambahnya.

Ia menyampaikan, sejumlah menteri di bidang ekonomi saat ini kebanyakan latar belakangnya adalah akademisi dan birokrat. Jarang yang punya background pengusaha. “Menurut saya sudah saatnya dilakukan kombinasi. Jangan kebijakan-kebijakan Presiden yang sudah pro rakyat malah tidak didukung oleh menterinya. Sebab menteri adalah pembantu presiden, dan yang juga memiliki visi misi adalah presiden bukan menteri,” tandasnya.

Pada kesempatan yang sama, Anggota DPR RI Fraksi PKS Andy Akmal Pasluddin mengatakan, apabila berbicara ekonomi Indonesia 2014-2019, tentu akan ada dua sisi (sudut pandangnya), yakni ada rapor merah dan ada rapor biru.

“Rapor merah itu bila disandingkan antara janji visi misi Presiden dengan capaian selama lima tahun. Kami melihat, dari angka-angka yang ada dan bukan hoaks. Indikator pertumbuhan ekonomi yang didengung-dengungkan 7 persen, ternyata selama lima tahun tidak tercapai. Artinya target untuk mengurangi orang miskin dan pengangguran menjadi tidak signifikan. Baru terjadi dalam sejarah, angka kemiskinan turun di bawah 2 digit,” jelas Akmal.

Akmal juga mengusulkan beberapa poin, di antaranya yaitu harus ada Badan Penerimaan Negara, pembatasan impor, pembatasan tenaga kerja asing yang unskill, dan keberadaan beberapa kementerian juga harus diperkuat. “Terkait ekonomi kreatif, harus diberikan ruang bagi generasi muda selaku penerus bangsa. Selain itu perbaiki pelayanan pemerintahan,” paparnya.

Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa ada satu hal yang harus dikuatkan dari segi pemikiran, yaitu pertumbuhan ekonomi bukanlah segala-galanya. “Kalau pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi kesenjangan tetap terjadi, maka arti pertumbuhan ekonominya menjadi tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dapat mensejahterakan masyarakat.

Misbakhun menyampaikan, saat ini tax ratio Indonesia rendah yang diakibatkan oleh adanya permasalahan yang bersifat struktural di APBN. “Penerimaannya kurang optimal tetapi biaya bunga kita naik. Hal ini yang harus menjadi perhatian tim ekonomi kita kedepan. Yang kita cari sebenarnya bukanlah orang-orang dipuji oleh luar negeri, reputasinya internasional dengan berbagai macam penghargaan, tetapi menteri yang loyal seratus persen kepada Presidennya,” tegasnya.

Senada dengan pembicara lainnya, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto juga mengatakan, bila melihat perkembangan ekonomi lima tahun terakhir, maka target perekonomian secara umum relatif belum tercapai bila ukurannya RPJMN.

Aspek lain yang harus dilihat adalah terkait tantangan ke depan, di mana sebelumnya ada beberapa target yang sangat optimis bisa tercapai ternyata belum bisa mencapai hasil sesuai yang diharapkan, maka pada periode kedua pemerintahan Jokowi harus ada upaya lebih keras untuk meningkatkan performa pemerintah di lima tahun ke depan.

“Secara umum, di bidang ekonomi melihat kinerja perekonomian dari sisi pertumbuhan. Karena pertumbuhan tersebut merepresentasikan segala aktivitas yang ada di masyarakat. Ultimate goal-nya adalah bagaimana ekonomi dapat tumbuh dengan baik dan merata,” ucap Eko.

Di awal pemerintahan Presiden Jokowi, sambungnya, pertumbuhan ekonominya di bawah 5 persen yakni 4,8 persen. Kemudian dilakukan berbagai macam upaya kebijakan dan terobosan, yang akhirnya pertumbuhan ekonomi mampu meningkat di atas 5 persen.

“Ketika di awal pemerintahan masih ada pilihan terhadap orang-orang yang duduk di kabinet itu yang masih belum tepat, perkembangan ekonominya masih turun, dan ketika dilakukan penggantian kemudian pertumbuhan ekonominya menjadi naik. Artinya ada kinerja di sana. Hanya saja semenjak awal RPJMN 2014-2019 itu dipasang dengan harga yang cukup ambisius, di mana pertumbuhan ekonomi ditargetkan rata-rata 7 persen, namun hasilnya sekarang ini hanya mencapai di kisaran 5 persen,” katanya.

Eko berharap, ke depan tim ekonomi itu harus dikocok ulang, karena memang dibutuhkan orang yang benar-benar bisa mengimplementasikan harapan di dalam rencana tersebut,” pungkasnya. (rya)