Sofyan Basir

Kastara.ID, Jakarta – Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR akhir September 2019 dinilai mengancam kebebasan pers. Salah satu pasal yang dianggap berlebihan adalah ‘penghinaan terhadap presiden’.

Bukan hanya itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers telah mencatat setidaknya ada 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi terhadap wartawan.

Sasmito, selaku ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia mengatakan bahwa 10 pasal tersebut terlalu subjektif dan sewenang-wenang. Bukan hanya itu pasal tersebut bisa menjadi celah terjadinya kriminalisasi terhadap jurnalis. Bahkan pihaknya sudah melakukan protes ke DPR sejak 2016 terkait adanya pasal-pasal yang dianggap menciderai kebebasan pers.

Namun, menjelang disahkan, DPR tetap mempertahankan sejumlah pasal yang sudah diprotes. Bahkan, Anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi memastikan bahwa RKHUP akan tetap disahkan pada akhir September meski menuai protes dari banyak pihak.

Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) menjelaskan posisi kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia sebenarnya tidak mengalami peningkatan.

Menanggapi hal ini, Hendry Chairudin Bangun selaku anggota Dewan Pers menyatakan bahwa lembaganya tidak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. Ditegaskan bahwa Dewan Pers tetap akan mengacu pada Undang Undang Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik.

Bahkan dalam hal ini DPR dianggap sudah ketinggalan zaman sebab masih melihat jurnalis/pers/wartawan sebagai ancaman.

Senada dengan itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan ‘tindak pidana pers’. Padahal, kata dia, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana.

Sehingga Fickar mengusulkan kepada DPR agar setiap pasal RKUHP yang berkaitan dengan pers, tak langsung diarahkan ke ranah pidana. Perlu ada pasal yang menjembatani, sebagai jaminan dari pemerintah terhadap kebebasan pers, berekspresi dan menyampaikan pendapat.

Fickar Hadjar juga mengatakan terdapat dua pasal yang saling bertentangan, pasal-pasal ini masih kontroversial. Misalnya dalam Pasal 281, menurutnya, sulit bagi pers untuk dilarang meliput. “Karena ketika sidang dibuka, itu dinyatakan untuk umum. Artinya bisa dilihat siapa pun,” katanya. Begitu pula dengan Pasal 291 dan 241.

Fickar juga berpendapat bahwa presiden merupakan posisi pejabat publik yang terbuka akan kritik, komentar, dan pendapat. (rya)