Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Kampanye Pilkada Serentak 2020 sudah berlangsung lebih satu bulan. Dalam cacatat Bawaslu, sebanyak 39.303 kegiatan kampanye digelar tatap muka dan hanya 247 kampanye via daring.

Temuan senada juga dikemukakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hanya 4 persen kegiatan kampanye yang menggunakan media daring dan media sosial. Sebanyak 96 persen paslon masih menggunakan kampanye pertemuan langsung secara tatap muka.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga menilai, rendahnya kampanye melalui media daring dan medsos memang mengejutkan. “Sebab, di era pandemi covid-19, paslon diharapkan lebih banyak menggunakan media darling dan medsos dalam kampanye. Harapannya agar penularan covid-19 dapat diminimalkan atau minimal tidak menjadi cluster baru,” tandasnya kepada Kastara.ID, Rabu (4/10) pagi.

Menurut pria yang biasa disapa Jamil ini, harapan menggunakan media daring dan medsos dalam kampanye Pilkada serentak 2020 memang beralasan. Sebab, jumlah pengguna internet pada akhir Januari 2020 mencapai 175,4 juta orang dari total penduduk Indonesia 272,1 juta jiwa. “Ini artinya, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet,” ungkapnya.

Tingginya pengguna internet di tanah air, diasumsikan akan efektif berkampanye melalui media darling dan medsos. Karena itu, para paslon awalnya diperkirakan akan lebih banyak menggunakan kampanye melalui media tersebut daripada melalui tatap muka.

“Semua perkiraan dan harapan itu meleset. Banyak pihak menilai, hal itu terjadi karena ketidaksiapan tim kampanye dan/atau calon dengan perangkat kampanye,” paparnya.

Jamil pun menekankan bahwa penilaian tersebut tampaknya berlebihan mengingat masing-masing paslon pada dasarnya mampu merekrut tim kampanye yang menguasai seluk beluk media darling dan medsos. Karena itu, kurang beralasan bila rendahnya kampanye via media daring dan medsos hanya karena tim kampanye dan paslon gagap teknologi.

Bahkan Jamil juga melihat adanya kemungkinan tim kampanye dan paslon memang meragukan efektivitas kampanye melalui media daring dan medsos. Kenapa?

Pertama, menurut Bawaslu memang masih ada kendala akses internet di 541 kecamatan di daerah yang menggelar pilkafa 2020. Ini artinya, di sejumlah kecamatan tersebut memang sulit dilaksanakan kampanye melalui media daring dan medsos secara optimal. Keterbatasan akses internet akan menghasilkan banyak gangguan bila dipaksakan kampanye via media daring dan medsos.

Dua, efektivitas kampanye melalui media daring dan medsos masih diragukan. Sebab, kebanyakan pengguna media ini untuk bersilaturahmi dengan teman dan bertujuan mencari hiburan, bukan untuk mencari informasi politik.

Bahkan pengguna media daring dan medsos dari kalangan milenial, pada umumnya apolitik. Mereka menggunakan media tersebut jauh dari kepentingan politik.

Tiga, hasil penelitian mengenai efek media menunjukkan, paling efektif hanya pada level koginitif dan afektif. Sementara untuk efek perilaku unumnya diperoleh melalui komunikasi tatap muka.

“Atas dasar pertimbangan itu, kiranya menjadi logis bila tim kampanye dan paslon lebih tertarik kampanye melalui tatap muka. Melalui kampanye model ini, mereka lebih yakin akan dapat mengajak pemilih untuk memilih paslonnya pada 9 Desember 2020,” ungkap Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999.

Konsekuensi dari keyakinan itu, tambah Jamil, tentu tim kampanye dan paslon akan memperbanyak kampanye melalui tatap muka. “Walaupun mereka menyadari, kampanye model ini membuka ruang terjadinya kerumuman,” katanya.

Karena itu, menurut pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini, peluang penularan covid-19 melalui kampanye tatap muka memang sangat terbuka. “Untuk meminimalkan hal itu terjadi, tim kampanye dan paslon seyogyanya taat azas melaksanakan protokol kesehatan dalam setiap kampanye tatap muka,” jelas Jamil.

Bawaslu pun harus lebih intens dalam mengawasi pelaksanaan kampanye tatap muka. Kampanye yang tidak sesuai dengan protokol kesehatan seharusnya ditindak tegas dengan cara membubarkannya.

Untuk itu, Bawaslu di mana pun berada haruslah mendahulukan kesehatan daripada politik. “Dengan begitu, semua Bawaslu akan bekerja dengan koridor yang sama dalam mengawasi kampanye tatap muka, sehingga pilkada 2020 tidak menjadi cluster baru penyebaran covid-19,” kata penulis buku Riset Kehumasan ini.

Tentu tidak menutup kemungkinan, imbuhnya, kampanye tatap muka juga dijadikan ajang untuk praktik politik uang. “Bawaslu lagi-lagi harus mengerahkan semua SDM yang dimiliki agar dapat mencegah beragam operandi politik uang,” kata Jamil.

Semua itu dimaksudkan agar Pilkada yang menggunakan anggaran besar dan dilaksanakan di tengah ancaman covid-19 dapat menghasilkan pemimpin daerah yang mumpuni dan amanah. Selamat memilih kepala daerah dengan rasional. (jie)