COP26

Kastara.ID, Jakarta – Pidato yang disampaikan Presiden Joko Widodo di Konferensi Tingkat TInggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim atau Conference of the Parties ke-26 (COP26) Senin (1/11) di Glasgow, Skotlandia mendapat tanggapan dari pegiat lingkungan, Greenpeace Indonesia. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M Iqbal Damanik menilai pidato Jokowi hanya omong kosong belaka.

Iqbal mengatakan, kenyataan yang terjadi di Indonesia justru bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Jokowi dalam COP26. Iqbal mengungkapkan, semua yang disampaikan, mulai dari keberhasilan menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) hingga target rehabilitasi 600 hektare mangrove atau hutan bakau pada 2024 tak lebih hanya klam semata.

Saat memberikan konferensi pers berjudul “Tanggapan atas Pidato Presiden Jokowi di COP26,” (2/11), Iqbal mengatakan, angka penurunan Karhutla pada 2020-2021 yang diklaim hingga 82 persen tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan. Pasalnya hal itu lebih banyak karena faktor alam. Iqbal menyebut pada tahun-tahun itu Karhutla terjadi bersamaan dengan musim hujan. Lahan yang basah saat itu menyebabkan angka Karhutla menurun. Artinya penurunan angka kebakaran hutan tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan Jokowi.

Iqbal juga menambahkan, data yang digunakan Jokowi dalam pidatonya hanya diambil sebagian atau ‘cherry picking.’ Sehingga data tersebut tidak mempersentasikan kondisi dan situasi hutan Indonesia yang sebenarnya. Belum lagi, kata Iqbal, karhutla yang terjadi masih di konsesi-konsesi yang sama seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Titik terjadinya kebakaran masih sama dengan pada 2015, 2019, 2020, dan 2021.

Kritikan juga disampaikan Iqbal, terkait dengan transisi energi. Menurutnya, Jokowi belum memperlihatkan kesungguhan dalam implementasinya. Salah satunya lantaran sampai saat ini Indonesia masih mengandalkan penggunaan bahan bakar fosil dari batu bara. Dalam pidatonya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut akan beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT). Namun melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Indonesia masih membangun 13,8 giga batu bara untuk tenaga listrik. Hal ini menandakan Indonesia tidak akan benar-benar beralih ke industri ekstraktif dan berkomitmen dalam penanganan krisis iklim. (ant)