Rudal

Kastara.ID, Jakarta – Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyatakan, pihaknya siaga setelah menduga proyektil yang ditembakkan Korea Utara ke laut pada pagi ini, Rabu (5/1), merupakan rudal balistik.

Untuk itu, Jepang pun mengimbau awak kapal di sekitar lokasi tak mendekati objek tidak dikenal. “Kemungkinan peluncuran rudal balistik. Sangat disayangkan Korea Utara terus meluncurkan rudal sejak tahun lalu,” ujar Kishida, Rabu (5/1).

Kishida kemudian menegaskan bahwa pemerintah akan terus menganalisis peluncuran proyektil ini, termasuk menerobos ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) Negeri Sakura atau tidak.

Ia melontarkan pernyataan ini tak lama setelah pasukan penjaga pesisir Jepang melaporkan bahwa mereka melihat benda diduga rudal balistik yang ditembakkan dari Korut.

Tak hanya Jepang, Korea Selatan juga mengonfirmasi bahwa Korut menembakkan proyektil ke arah laut pada pukul 08.10 waktu setempat. Namun, Korsel belum dapat memastikan jenis proyektil yang dilontarkan tersebut.

“Intelijen Korea Selatan dan Amerika Serikat masih melakukan analisis untuk detail lebih lanjut,” demikian pernyataan kantor Kepala Staf Gabungan Korsel.

Jika benar, ini merupakan kali pertama Korut menembakkan proyektil di tahun 2022. Dalam rapat Partai Buruh pekan lalu, pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong-un, memang menyatakan bahwa ia akan terus mengembangkan kapabilitas militernya.

Korut terakhir kali menguji coba proyektil dengan menembakkan rudal balistik pada 19 Oktober lalu. Saat itu, mereka mengklaim uji coba rudal tipe baru itu berhasil.

Diketahui sepanjang tahun lalu, Korut terus memamerkan peningkatan kemampuan proyektilnya, mulai dari rudal jarah jauh, rudal hipersonik, hingga rudal yang ditembakkan dari kereta. Uji coba terbaru ini digelar ketika Korut terus bungkam atas tawaran AS untuk kembali berdiskusi mengenai program nuklir negaranya.

Kim Jong-un sebenarnya sudah beberapa kali bertemu dengan Donald Trump ketika politikus itu masih menjabat sebagai presiden AS. Namun, perundingan mengenai program nuklir itu mandek karena perbedaan pendapat mengenai denuklirisasi. (har)