Oleh: Muhammad AS Hikam

Sebelum terjadinya aksi demo 4/11, muncul berbagai analisa dan spekulasi politik bahwa aksi penjatuhan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, hanyalah ‘sasaran antara’ untuk dilanjutkan kepada target utama Presiden Jokowi. Bagi saya, analisa tersebut menjadi kian menguat validitasnya setelah demo terjadi. Saya menggunakan dua sumber untuk dianalisa: 1) pandangan Wakil Ketua DPR-RI Fahri Hamzah ketika ia berpidato dalam aksi demo tersebut, dan 2) respon Presiden Jokowi terkait terjadinya kerusuhan dalam aksi demo yang disampaikan di Istana semalam.

Walaupun pernyataan Fahri Hamzah tampak bersifat umum, yakni tentang dua cara menjatuhkan Presiden, tetapi konteks di mana dia berpidato dan target ‘imbauan’ Fahri Hamzah yaitu Presiden Jokowi, tidak bisa diabaikan sebagai latar belakang dan sekaligus tujuan kongkretnya. Dengan kata lain demo tersebut bisa menjadi salah satu dari dua cara penjatuhan Presiden Jokowi, yakni “lewat parlemen jalanan”. Sebab sangat tidak masuk akal sehat bila pernyataan Fahri Hamzah hanya merupakan sebuah “kuliah umum” mengenai politik, seperti seandainya ia bicara di kelas atau seminar. Ia bicara di sebuah demo protes anti-Ahok, dan dia merupakan salah satu pesertanya. Lebih lanjut, dengan menghimbau Presiden Jokowi agar “berhati-hati dalam menyikapi proses hukum terhadap Ahok”, maka target pidato tersebut adalah Presiden Jokowi, bukan Ahok.

Sementara itu, reaksi Presiden Jokowi sendiri menyebut bahwa demo anti Ahok tersebut “telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi.” Pernyataan seorang Presiden tentu bukan tanpa dasar. Saya yakin itu merupakan hasil dari berbagai laporan yang sumbernya akurat, baik dari intelijen maupun sumber lain. Apalagi jika sudah muncul beberapa pernyataan dari pejabat yang terkait dengan keamanan dan penegak hukum, seperti Menhan dan Kapolri, bahwa ada indikasi elemen-elemen radikal akan memanfaatkan demo tersebut untuk tujuan politik mereka. Pernyataan Presiden Jokowi ini setidaknya mengindikasikan bahwa demo anti-Ahok dapat dimanfaatkan dan diarahkan menuju kepada target yang lebih luas, bukan hanya kepada Ahok saja.

Untuk sementara, demo anti-Ahok tidak berujung pada terjadinya ‘showdown’ politik antara kelompok garis keras Islam dengan Presiden Jokowi, kendati berujung rusuh. Kesiagaan Polri, TNI, dan aparat-aparat keamanan lain, serta imbauaan ormas Islam seperti NU, berkontribusi sangat besar dalam keberhasilan tersebut. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa aksi ‘parlemen jalanan’ itu akan berhenti ketika proses hukum terhadap Ahok dituntaskan Polri dengan cepat, yaitu dua minggu seperti yang dinyatakan oleh Wapres Jusuf Kalla. Sebab jika hasil proses hukum tersebut tidak sama dengan target kelompok anti-Ahok, bisa saja akan muncul alasan baru untuk melanjutkannya.

Hemat saya, demo anti-Ahok adalah cerita dan bukti kesuksesan kelompok garis keras dalam melakukan tekanan politik terhadap Presiden Jokowi. Wacana dan praksis terkait kasus Ahok adalah sebuah kesempatan emas bagi penggalangan kekuatan yang efektif, karena isu ‘penistaan agama’ mampu menjadi semacam ‘simbol keprihatinan’ yang dapat menyatukan kepedulian ummat atas “kehormatan agama.” Isu sektarian ini efektif ketimbang masalah kemiskinan, pengangguran, dan hal-hal yang terkait dengan persoalan kongkret lain yang seharusnya menjadi kepedulian bersama dari bangsa.

Mengapa isu ini menjadi efektif sebagai simbol penggalangan kekuatan politik sektarian? Salah satu jawabnya adalah karena Pemerintah pasca-reformasi, khususnya setelah pemerintahan almarhum Gus Dur, cenderung abai dan atau setidaknya kurang serius dalam menyikapi berkembangnya radikalisme dan penyebaran radikalisasi di dalam masyarakat dan ummat Islam di negeri ini. Pemerintah dan elite politik serta masyarakat menganggap apa yang terjadi di negara-negara Timteng, Afrika Utara, dan yang kini menyebar ke negara Barat, seakan-akan tidak bisa terjadi di negeri ini. Bahkan sebagian dari kekuatan politik dan politisi malah ikut menjadi ‘cheer leaders’ dan atau membonceng kelompok garis keras tersebut.

‘Quo vadis’ Pemerintah RI versus radikalisme, sektarianisme, dan primordialisme? (*)