Industri Manufaktur

Kastara.id, Jakarta – Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengungkapkan, sektor industri masih menjadi kontributor terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang mencapai 20,16 persen pada 2017. Oleh karena itu pihaknya terus mendorong investasi dan ekspansi di sektor manufaktur.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri pengolahan nonmigas adalah 5,14 persen pada kuartal IV tahun 2017, lebih tinggi dibanding periode yang sama 2016 yang mencapai sekitar 3,91 persen.

Dari data tersebut, kontributor terbesar PDB selanjutnya adalah sektor pertanian yang menyumbangkan hingga 13,14 persen, perdagangan (13,01 persen), konstruksi (10,38 persen), dan pertambangan (7,57 persen).

“Kementerian Perindustrian terus mendorong investasi dan ekspansi di sektor manufaktur agar semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (7/2).

Adapun subsektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada kuartal IV/2017, yaitu industri makanan dan minuman sebesar 13,76 persen, industri mesin dan perlengkapan 9,51 persen, industri logam dasar 7,05 persen, serta industri tekstil dan pakaian jadi 6,39 persen. Capaian-capaian ini di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,07 persen sepanjang 2017.

Menperin menyampaikan, pihaknya tengah fokus memacu kinerja industri padat karya berorientasi eskpor, seperti sektor tekstil, clothing, dan footwear yang sampai sekarang tetap menjadi andalan karena memiliki daya saing tinggi.

BPS juga mencatat, industri pengolahan merupakan sektor andalan dalam menyumbang nilai ekspor Indonesia. Pada 2017, nilai ekspor industri pengolahan sebesar USD125 miliar. Angka tersebut memberikan kontribusi tertinggi hingga 76 persen, dari total nilai ekspor Indonesia yang mencapai USD 168,73 miliar.

“Tren ekspor industri terus meningkat. Kami berharap, tahun ini bisa memenuhi target USD 135 miliar atau naik sekitar 8 persen dari perolehan 2017, kami proyeksikan bisa mencapai USD 143,22 miliar pada 2019,” ujarnya.

Dalam periode lima tahun (2012-2016), peran produk industri terus menanjak dalam komposisi ekspor Indonesia. Pada tahun 2012, ekspor produk industri sebesar USD 118,1 miliar atau sekitar 62,2 persen dari total ekspor Indonesia yang mencapai USD 190,0 miliar. Sementara tahun 2016, porsi ekspor produk industri mencapai USD 109,7 miliar atau mengalami peningkatan menjadi 75,6 persen terhadap total ekspor Indonesia sebesar USD 145,2 miliar.

Komoditas yang mendominasi lima besar ekspor industri pengolahan sepanjang 2017, yaitu minyak kelapa sawit berkontribusi tinggi terhadap ekspor industri makanan senilai Rp 272 triliun, diikuti produk pakaian jadi menyumbangkan Rp 90 triliun.

Selanjutnya, produk industri karet, barang karet, serta barang dari karet dan plastik sebesar Rp 66 triliun, produk industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia Rp 59 triliun, serta produk industri logam Rp 51 triliun. “Saat ini, negara tujuan ekspor utama kita antara lain adalah Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura,” tuturnya.

Pertumbuhan investasi sektor manufaktur Indonesia tahun 2016 (y-o-y) tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi sebesar 41,8 persen, disusul Malaysia sebesar 25,0 persen dan Vietnam 3,1 persen. Penurunan investasi terjadi di Singapura dan Thailand, masing-masing turun sebesar 29,6 persen dan 27,5 persen.

Merujuk data Kemenperin, nilai total investasi (PMA dan PMDN) sektor industri diproyeksikan terus mengalami peningkatan, dari sekitar Rp 283,71 triliun tahun 2017 akan menjadi Rp 387,57 triliun pada 2019. Sementara investasi tahun 2018 ditargetkan bisa menembus mencapai Rp 352,16 triliun.

Dalam laporan World Economic Forum (WEF) 2018 di Davos mengenai kontribusi negara-negara terhadap pertumbuhan global, Menperin menyampaikan, Indonesia menempati peringkat paling tinggi di ASEAN dan berada di posisi kelima dunia dengan sumbangan sebanyak 2,5 persen.

Capaian tersebut di atas Korea Selatan (2 persen), Australia (1,8 persen), Kanada (1,7 persen), Inggris (1,6 persen), dan Turki (1,2 persen). Sementara itu, kontribusi tertinggi ditempati oleh China (35,2 persen), diikuti Amerika Serikat (17,9 persen), India (8,6 persen), dan Uni Eropa (7,9 persen). (mar)