Wartawan

Kastara.ID, Jakarta – Setiap 9 Februari wartawan Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN).

“Saat memperingati HPN, persoalan kesejahteraan wartawan kerap diabaikan. Seolah-olah wartawan sudah semua sejahtera,” ujar M Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta kepada Kastara.ID, Selasa (8/2).

Padahal, persoalan kesejahteraan wartawan sudah sangat memprihatinkan. “Gaji wartawan masih banyak yang di bawah UMR. Padahal, pendidikan wartawan saat ini sudah semua sarjana dari berbagai disiplin ilmu,” ungkap pengamat yang dikenal dekat dengan wartawan ini.

Menurut pengamat yang biasa disapa Jamil ini, gaji wartawan tersebut disamakan dengan gaji pekerja pabrik yang pendidikannya lebih rendah dari wartawan. Hal ini tentu sangat tidak masuk akal atau kontralogika.

“Bahkan lebih mengenaskan lagi, masih ditemukan wartawan yang tidak digaji. Mereka hanya dibekali kartu pers untuk mencari bahan berita dan lainnya agar tetap survive,” imbuh Jamil yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta, kampus yang dikenal sebagai sekolah para wartawan ini.

Celakanya, gaji wartawan yang minim itu bukan hanya monopoli media kecil. Sebagian media kategori besar juga masih memberlakukan gaji setara UMR.

Hal itu menjadi satu sebab wartawan bukan lagi menjadi profesi pilihan utama. Mereka menjadikan wartawan sebagai batu loncatan untuk berkarier ke profesi lain yang lebih prestise dan menjamin kesejahteraan.

“Karena itu, tidak mengherankan banyak wartawan yang keluar masuk media. Hal ini membuat redaktur atau produser eksekutif pusing, karena terus menerus berhadapan wartawan baru yang harus didik dari awal lagi,” imbuh Jamil.

Keluar masuknya wartawan dengan sendirinya akan mempengaruhi kualitas pemberitaan suatu media. Sehebat-hebatnya redaktur atau produser eksekutif, tapi kalau bahan berita yang diterimanya dari wartawan sekedar ada, maka berita yang dihasilkan juga tidak akan maksimal.

Menurut Jamil, kalau pemberitaan yang dihasilkan apa adanya, maka pemenuhan informasi oleh khalayak akan semakin sulit dipenuhi. Hal ini akan berdampak pada semakin enggannya masyarakat mengkonsumsi media.

“Kalau hal itu terjadi, tentu berbahaya bagi kelangsungan media. Media yang tidak dikonsumsi oleh khalayak, maka media itu akan dijauhi iklan. Media tanpa iklan, sudah pasti tidak akan dapat mensejahterakan wartawannya,” paparnya.

Karena itu, media sudah seharusnya mengutamakan kesejahteraan wartawannya. Minimal gaji wartawan di atas UMR agar mereka dapat melaksanakan kerja jurnalistik lebih maksimal sehingga menghasilkan berita yang memenuhi kebutuhan informasi khalayak.

“Hal itu kiranya menjadi perhatian serius bagi pemilik media, organisasi wartawan, Dewan Pers, dan KPI. Hanya dengan kesejahteraan wartawan, secara moral kita dapat menuntut peningkatan kualitas jurnalistik di tanah air,” pungkasnya. (dwi)