Oleh: Muhamad AS Hikam

Yang namanya intoleransi terhadap kelompok minoritas, perempuan, warna kulit, dan ras, serta etnik tertentu, sedang menjadi tren global. Bukan hanya di negara kita, yang memang masih sedang berjuang keras untuk melaksanakan sistem demokrasi sesuai landasan Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga di negara yang sudah paling lama berdemokrasi seperti Amerika Serikat (AS). Bahkan hari-hari ini di negeri Paman Sam itu, insiden-insiden yang bisa dikategorikan dalam praktik intoleransi itu terkesan sangat marak dan menjangkiti nyaris seluruh lapisan masyarakat.

Tengok saja insiden yang menimpa Ilhan Omar, 34 tahun, seorang perempuan warga negara AS keturunan Somalia, yang baru saja terpilih menjadi anggota DPRD di negara bagian Minnesota. Ibu tiga anak ini merupakan perempuan keturunan Somalia pertama dalam sejarah AS yang berhasil meraih posisi politik tersebut. Ilhan Omar memenangkan pileg 2016 di Minnesota dengan tiket dari Partai Demokrat, Petani, dan Buruh (DFL) di negara bagian tersebut. Platform aktivis LSM bernama “Women Organizing Women Network” dan sekaligus konsultan politik tersebut adalah pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan. Perempuan yang pindah dari Somalia ketika berusia 11 tahun ini dikenal sebagai “the rising star” alias bintang yang sedang moncer di kalangan komunitas Somalia-Amerika di Minnesota itu.

Tetapi semua kehebatan Ilhan Omar mendapat ujian ketika beliau menghadiri undangan di Gedung Putih untuk sebuah acara pelatihan terkait pembuatan kebijakan publik. Saat Ilhan Omar naik taksi, ia mengalami pelecehan rasial dan tindakan intoleran. Sopir taksi yang ditumpanginya bukan saja melecehkan Ilhan Omar dengan kata-kata kasar, menyebutnya anggota ISIS, dan mengeluarkan ujaran kebencian karena ia Muslim yang mengenakan jilbab dan berkulit gelap, tetapi bahkan juga mengancam akan merobek jilbabnya. Masih untung Ilhan Omar bisa melarikan diri dari taksi tersebut dan selamat dari pelecehan rasis.

Kisah seperti ini hari-hari ini banyak dilaporkan media AS dan dikaitkan dengan kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS yang platform-nya sangat anti asing, Islamophobia, anti imigran, dan misoginistik (anti-perempuan). Walaupun tidak secara langsung, namun kemenangan Donald Trump menambah ketegangan dan ketidaknyamanan iklim kehidupan bermasyarakat di negara demokratis yang paling panjang dan paling modern di dunia itu. Intoleransi yang ada dalam sebagian masyarakat AS seperti terlepas dari belenggunya dan kini mengamuk mencari mangsa. Kendati Ilhan Omar adalah termasuk warga negara yang kelas sosial serta status sosialnya tinggi, tetap saja menjadi sasaran intoleransi. Apalagi kalau di lapis lebih bawah, tentu kekhawatiran maraknya xenophobia, rasisme, kekerasan, dan diskriminasi akan merebak juga.

Inilah pelajaran yang bisa kita peroleh bahwa kerja mengakkan demokrasi tak ada istilah selesai dan sempurna. Bangsa Indonesia yang telah bersepakat menerapkan sistem demokrasi, sesuai konsitusinya, juga mesti selalu awas dan waspada terhadap ancaman intoleransi dlam berbagai bentuk dan wujudnya. Jangan sampai ada kesalahpahaman dan pemahaman yang salah bahwa sistem demokrasi yang keliru, tetapi pelaksanaan dan pelaksana sistem tersebut memang harus terus menerus dikembangkan dan diperbaiki. Demokrasi konstitusional adalah satu-satunya pilihan sistem politik di negeri ini yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan NKRI. (*)