Batubara

Kastara.ID, Jakarta – Komoditas batubara masih menjadi sumber energi yang paling murah dibandingkan sumber energi lainnya. Batubara menjadi salah satu energi penting di tengah upaya pengembangan pembangkit energi terbarukan.

“Ketersediaan batubara ini relatif masih cukup banyak dan dapat diterima. Apalagi dengan perkembangan teknologi pembangkit yang rendah emisi,” demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia di Jakarta (10/2).

Hendra mengatakan, sejauh ini batubara masih terbukti menjadi sumber energi paling murah alias affordable di dunia. “Batubara juga mampu memenuhi unsur untuk ketahanan energi nasional,” ujarnya.

Hendra menambahkan, saat ini batubara menjadi incaran dunia seiring dengan ketidakpastian pasokan minyak dan gas bumi akibat invasi Rusia dan Ukraina. Bahkan, sejumlah negara pengguna gas alam sebagai sumber energi utama mulai mengambil ancang-ancang kembali memakai batubara sebagai energi.

Beberapa di antaranya adalah Italia dan Jerman. Kedua negara ini dikenal menggunakan memilih menggunakan gas sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik. Tingginya harga gas membuat negara itu memilih kembali mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara.

Menurut Hendra, situasi ini memberikan dampak positif bagi Indonesia. RI menjadi salah satu negara penghasil batubara termal terbesar di dunia.

“Jenis batubara ini digunakan oleh dunia sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik,” jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, produksi batubara dalam negeri telah mencapai 74,02 juta ton hingga 4 Maret 2022. Jumlah ini setara dengan 11,16 persen dari target yang telah ditetapkan pemerintah yakni 663 juta ton hingga akhir tahun nanti.

Dari jumlah tersebut, batubara Tanah Air yang telah dijual ke pasar diekspor sebesar 11,14 juta ton dan 18,24 juta ton lainnya diperuntukan bagi industri dalam negeri. Baik bagi pembangkit listrik maupun kebutuhan industri seperti pupuk dan semen. Sementara sisanya masih dalam proses penjualan.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan bahwa pertumbuhan industri batubara akan meningkatkan kebutuhan pada tenaga kerja. Artinya keberadaan pertambangan fosil ini mampu mengurangi jumlah pengangguran di dalam negeri.

“Kenaikan ini juga akan kembali menghidupkan perekonomian masyarakat dan Pemda, di mana lokasi pertambangan batubara berada,” katanya.

Sejauh ini, batubara terus menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar pada subsektor mineral dan batubara. Tahun lalu, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) pada sektor ini mencapai Rp 75,15 triliun atau 192% dari target. Sedangkan tahun ini diproyeksi sumbangan devisa bagi negara bisa melebihi target tahun lalu.

Adapun terhadap upaya transisi energi, batubara menjadi salah satu penopang energi terbesar di dalam negeri. Pasalnya transisi energi atau peralihan penggunaan pada pembangkit energi bersih masih pada tahap pengembangan.

Di samping itu, biaya investasi untuk pengembangan energi baru terbarukan terbilang cukup mahal. Kementerian ESDM dalam beberapa kesempatan menyebutkan bahwa investasi yang diperlukan untuk pengembangan EBT mencapai Rp 400 triliun dalam 10 tahun ke depan. Asumsi ini mempertimbangkan setelah RUU EBT rampung.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi KESDM Dadan Kusdiana sempat menerangkan bahwa energi terbarukan pada sektor kelistrikan masih cukup tinggi mencapai US$ 1-US$ 2 juta per Megawatt (MW) EBT. (*)