RUU Ciptaker

Kastara.ID, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menyatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja bertujuan untuk mencari solusi agar perekonomian ke depan bisa berjalan serta regulasi yang tumpang tindih bisa diselesaikan secara maksimal tanpa mengabaikan norma-norma yang telah diatur dengan baik. Adapun, sambung Firman, dalam kaitannya mengenai lingkungan hidup dan kehutanan jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 jelas tersirat kehutanan seharusnya dapat dikelola di mana kepentingan ekologi, sosial, dan ekonomi dapat terpenuhi secara seimbang.

Pemaparan tersebut disampaikan Firman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI dengan sejumlah akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memperoleh masukan tentang RUU Ciptaker di antaranya Prof Dr. M Ramdan Andri Gunawan (Guru Besar Fakultas Hukum Univ Indonesia), Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf (Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan), Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang (Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang digelar secara virtual, Rabu (10/6).

Lebih lanjut, politisi Fraksi Partai Golkar tersebut mengungkapkan persoalan regulasi yang tumpang tindih mengakibatkan tiga aspek sub-sektor tadi tidak terkelola dengan maksimal. “Maka, saya menekankan hal tersebut harus dicarikan solusi dalam RUU Cipta Kerja ini untuk mengatur norma-norma yang mengatur keseimbangan atau kepentingan kehutanan yang meliputi tiga sub-sektor yakni aspek ekologi, sosial dan ekonomi,” ujar Firman.

Selain itu, Firman yang juga Anggota Komisi IV DPR RI ini menyoroti tentang bank tanah yang rencananya juga akan dirumuskan dalam RUU Ciptaker. Firman mengimbau, persoalan bank tanah perlu mendapat perhatian khusus untuk dipertimbangkan sebaik-baiknya apakah menjadi bagian penting dalam RUU Ciptaker nantinya. Mengingat, menurut Firman, ia mengkhawatirkan jika kalau bank tanah ini hanya untuk kepentingan pembangunan yang sifatnya pembangunan untuk kepentingan umum maka bank tanah tidaklah diperlukan.

Namun, saran Firman, cukup diperlukan satu keputusan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan instansi terkait untuk membuat kesepakatan. Yakni bahwa untuk kepentingan umum cukup di-SK-kan sebagai dasar hukum pemanfaataan lahan hutan untuk pembangunan yang bersifat umum. Jika berdasar bank tanah, ia khawatir nantinya bisa saja disalahgunakan oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

“Walaupun nantinya dikelola BUMN akan tetapi kepentingan orang per orang itu kan kita tidak bisa mendeteksi. Nah, ini saya rasa mohon mendapatkan pertimbangan urgent atau pentingnya bank tanah itu menjadi bagian yang sangat mendasar atau dipandang penting ataukah tidak. Kalau menurut saya pribadi, belum merasakan itu menjadi bagian yang penting,” tandas legislator daerah pemilihan Jawa Tengah III itu. (rso)