Pilpres 2024

Kastara.ID, Jakarta – Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) berpeluang bubar bila Partai Demokrat menarik diri. Kalau hal itu terjadi, maka Anies Baswesan berpeluang gagal maju menjadi capres.

Hal itu diungkapkan oleh Pengamat Komunikasi Politik M Jamiluddin Ritonga dalam pernyataannya kepada Kastara.ID, Senin (12/6) pagi.

Menurut Jamil ada dua penyebab bila hal itu terjadi.

“Pertama, bila Puan Maharani dan Agus Harimurti (AHY) jadi bertemu dan menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan PDIP dan Demokrat,” ungkapnya.

Bisa saja pertemuan Puan-AHY membuka ruang berkoalisasi pada Pilpres 2024. PDIP misalnya menawarkan cawapres bagi AHY.

“Peluang itu bisa terjadi karena PDIP berkepentingan untuk membendung laju elektabilitas Prabowo Subianto. Ganjar diperkirakan tak mampu membendung Prabowo. Karena itu, kehadiran AHY bersama Demokrat, Ganjar berpeluang menang lebih terbuka,” jelas pengamat dari Universitas Esa Unggul Jakarta ini.

Dua, bila Nasdem, Demokrat, dan PKS tetap tidak sepakat pendamping Anies Baswedan. Sebab, sampai saat ini tiga partai ini tampaknya tetap berharap pendamping Anies dari partainya.

“Nasdem menginginkan Khofifah sebagai pendamping Anies. Demokrat mencalonkan Ketua Umumnya AHY. Sementara PKS ingin menjadikan kadernya Aher sebagai cawapres,” jelasnya.

Hal itu terjadi karena perolehan kursi tiga partai itu pada Pileg 2019 relatif seimbang. Tiga partai tersebut merasa sama-sama punya hak untuk menjadikan kandidatnya sebagai pendampung Anies.

“Padahal realitas kekuatan tiga partai itu belakangan ini mulai berubah. Hal itu dapat dilihat dari elektabilitas ketiga partai tersebut yang dirilis Lembaga Survei yang kredibel. Elektabilitas Partai Demokrat lebih tinggi daripada Nasdem dan PKS,” tandas Jamil.

Hal yang sama juga terlihat dari elektabilitas AHY, Khofifah, dan Aher. Elektabilitas AHY lebih tinggi ketimbang Khofifah dan Aher.

“Jadi, dilihat dari sisi itu, masuk akal kalau Demokrat menginginkan AHY menjadi pendamping Anies. Logika politik tentu membenarkan hal itu,” tegasnya.

Karena itu, kalau Nasdem dan PKS tetap tidak mau melihat realitas itu, tentu wajar saja kalau Demokrat mengevaluasi keberadaannya di KPP. Bahkan peluang menarik diri dari KPP sangat terbuka.

Jamil menambahkan, peluang itu sangat terbuka karena ada tawaran dari PDIP untuk saling membuka diri. Godaan PDIP bisa diterima Demokrat bila Nasdem dan PKS tetap pada pendiriannya.

“Jadi, bubar tidaknya KPP bolanya ada di Nasdem dan PKS. Kalau dua partai ini realistis dan mau menerima AHY menjadi cawapresnya Anies, maka KPP akan eksis dan berpeluang menang pada Pilpres 2024. Sebaliknya, KPP akan bubar, dan Anies akan gagal menjadi capares,” paparnya lagi.

Kalau hal itu terjadi, maka kubu Presiden Joko Widodo dan PDIP muncul sebagai pemenang. Jokowi dan PDIP yang menginginkan hanya dua pasangan yang maju pada Pilpres 2024 berpeluang terwujud.

Menurutnya, bisa jadi capres yang maju hanya Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Dua sosok ini sama-sama orangnya Jokowi.

“Kalau dua sosok itu yang maju, maka Jokowi akan tenang dan tidur nyenyak. Sebab, siapa pun yang menang, pastilah melanjutkan program kerjanya. Jokowi tak khawatir lagi IKN akan mangkrak,” urai pengamat yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Selain itu, Jokowi juga tak perlu lagi khawatir akan ada yang mempersoalkan dirinya dari sisi hukum. Ganjar atau Prabowo tentulah akan melindunginya.

Hal itu tentunya akan berdampak pada mandeknya amanah reformasi. “KKN akan berpeluang makin meluas dan demokratisasi bisa jadi akan jalan di tempat, bahkan berpeluang kembali ke Orde Baru. Tentu para reformis tak menginginkan hal itu terjadi,” pungkasnya. (dwi)