Kastara.id, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, salah satu upaya Indonesia dalam memenuhi kesepakatan politis global Sustainable Development Goals poin 14 yaitu perlindungan lingkungan laut dan keberlanjutan sumber daya ikan.

Berdasarkan kesepakatan tersebut dunia telah menentukan bahwa pada tahun 2020 overfishing, Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, dan destructive fishing practices harus dihentikan.

Berdasarkan data WWF 2015, di Indonesia, IUU fishing dan overfishing menyebabkan rumah tangga nelayan Indonesia berkurang sebanyak 50 persen dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu dari 1,6 juta tahun 2003 menjadi hanya 800 ribu tahun 2013. Tak hanya itu, IUU fishing juga mengancam sekitar 65 persen terumbu karang Indonesia yang merupakan habitat dan tempat reproduksi ikan.

“Atas keberhasilan itu, saya sangat mendukung dan memberikan apresiasi terhadap hasil kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terutama Satgas 115 dalam memberantas IUU fishing,” kata Luhut dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (12/7).

Luhut menambahkan, sampai saat ini, upaya KKP telah membuahkan hasil dilihat dari nilai tukar nelayan yang secara stabil meningkat sejak tahun 2014 (104,63) sampai tahun 2016 (108,24). Sumbangan subsektor perikanan dalam PDB pun terus meningkat dari 2,14 di tahun 2012 menjadi 2,51 di tahun 2015, dan terus meningkat menjadi 2,56 di 2016.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan mulai 2014, neraca perdagangan komoditas ikan Indonesia untuk pertama kalinya sejak tahun 2009 berada di atas Thailand. Pada 2014, nilai komoditas ikan Indonesia kurang lebih USD4 miliar, sedangkan Thailand tercatat kurang dari USD4 miliar.

Indonesia juga mengalami peningkatan rata-rata sebesar 8,71 persen per tahun, dibandingkan dengan Thailand yang mengalami penurunan rata-rata sebesar 5,67 persen.“Angka-angka yang saya sebutkan memperlihatkan manfaat pemberantasan illegal fishing terhadap perekonomian negara,” ujar Susi.

Menteri Susi mengaku pihaknya terus mengupayakan berbagai solusi untuk melakukan pemberantasan illegal fishing. Menurutnya penegakan hukum saja tidaklah cukup untuk memulihkan kembali laut yang sudah terdampak. Salah satu upaya penting yang harus dilakukan adalah dengan mengakui hak laut (ocean rights) sebagai perangkat (means) untuk mencapai kesehatan laut (healthy ocean)

“Kita selalu berpikir bahwa laut dan isinya merupakan objek. Ini justru menimbulkan kecenderungan tindakan eksploitasi sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kepentingan jangka pendek manusia,” katanya.

Inilah yang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman sebut sebagai tantangan utama dalam pemberantasan IUUF yaitu mewujudkan keseimbangan antara keberlanjutan sumber daya alam dengan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Menteri Luhut, sulit menciptakan kesepahaman di antara masyarakat khususnya mengenai larangan kapal cantrang dan larangan praktik perikanan destruktif.

Maka dari itu, Menteri Susi menjelaskan bahwa perlunya pengakuan ocean rights. Di mana ocean rights mengandung konsekuensi diberlakukannya hukuman (sanksi) apabila terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut. Selain itu, pengakuan ocean rights mengandung implikasi bahwa setiap warga negara berkewajiban untuk menjaga hak laut.

“Memberlakukan laut setara dengan manusia sebagai subjek hukum melahirkan pemikiran untuk memberlakukan hukuman yang lebih berat terhadap manusia atau korporasi yang melanggar hak laut,” ujar Menteri Susi.

Ini dinilai sangat penting, sebab sebanyak 2/3 nilai ekonomi laut ini dihasilkan dari aset yang sangat bergantung pada healthy ocean. Sementara itu, aset utama dari laut paling sedikit bernilai USD24 triliun. (mar)