Ramadan

Oleh: Ahkam Jayadi

ENTAH apa di baliknya, kenapa puasa itu selama sebulan, kenapa tidak sehari saja, seminggu atau bahkan 2 bulan. Tentu saja pasti ada rahasia Tuhan di baliknya. Satu hal yang pasti bahwa keimanan dan ketaqwaan yang telah terbentuk (mudah-mudahan kita semua mengalaminya sebagaimana janji Tuhan) selama bulan Ramadan jangan hanya mewujud selama Ramadan. Hal yang sangat diharapkan bahwa keimanan dan ketaqwaan itu sejatinya terimplementasi di hari-hari di luar Ramadan. Bagaimana sejatinya kita menyikapi hidup dan kehidupan di luar bulan Ramadan dan impak puasa Ramadan, berikut ini penulis coba untuk kita musyawarahkan.

Sebagaimana yang penulis telah paparkan dalam tulisan-tulisan saya terdahulu bahwa puasa adalah perintah Tuhan untuk membiasakan diri kita (si iman) untuk menahan hawa, nafsu, dunia setan (HNDS). HNDS sejatinya tidak lagi berkuasa dan memperbudak diri kita untuk senantiasa menggiring berbuat berbagai bentuk maksiat apalagi perbuatan melanggar hukum. Sungguh sebuah kesia-siaan jika selama sebulan kita berpuasa akan tetapi di luar bulan Ramadan atau dalam kehidupan sehari-hari pengaruh puasa (pengamalannya) tidak ada atau tidak mewujud di dalam interaksi sosial di tengah masyarakat. Manfaat puasa tidak terlihat, sehingga kita semua kembali kepada kebiasaan sebelumnya untuk berbuat berbagai bentuk perbuatan maksiat dan pelanggaran hukum. Bagi yang suka nipu, bohong maka kembali dia berbohong dan menipu. Bagi yang suka makan uang haram (korupsi, menerima sogokan) maka kembali kebiasaan itu terjadi lagi dan berbagai kebiasaan lainnya kembali muncul. Kita sejatinya harus menangis ketika kita di tinggalkan bulan Ramadan akan tetapi yang banyak terlihat justru kita gembira dengan perginya bulan Ramadan oleh karena kebiasaan buruk yang selama ini kita lakukan terbuka kembali pintunya untuk kita lakukan yang selama bulan Ramadan kita belenggu.

Sejatinya pasca puasa Ramadan maka di tengah masyarakat atau di lingkungan kita (lingkungan pekerjaan, lingkungan sosial) baik dalam lingkup masyarakat, bangsa maupun negara tidak ada lagi korupsi. Tidak ada lagi pembunuhan, Tidak ada lagi perampokan. Tidak ada lagi berbagai bentuk pelecehan seksual. Tidak ada lagi konflik baik yang horizontal maupun vertikal di tengah masyarakat. Apakah itu mungkin …? Sejatinya mungkin bahkan harus.

Demikian juga para elit pemerintahan dan elit politik, semuanya harus bekerja sesuai fungsi dan tanggung-jawabnya masing-masing untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam bahasa konstitusi (UUD 1945) mewujudkan tujuan di bentuknya negara ini yaitu: “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan”. Bukan lagi memanfaatkan atau menyalah-gunakan pangkat dan jabatan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Last but not least tidak terjadi lagi korupsi kakap (triliunan rupiah) yang merugikan masyaralat bangsa dan negara. Bagaimana tidak koruptor kakap itu cukup dihukum penjara sekian tahun dan uang yang dirampok tidak dikembalikan karena kewajiban mengembalikan kerugian negara cukup diganti dengan tambahan hukuman penjara. Bahkan ada yang kasusnya dihentikan di tengah jalan dengan terbitnya, “surat perintah penghentian penyidikan (SP3)’. Pada ranah ini tentu kita terenyuh dengan pernyataan Pak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD beberapa hari lalu bahwa meskipun di Indonesia banyak korupsi, negara tetap banyak kemajuan, misalnya tentang angka kemiskinan yang menurun. Sebuah pernyataan yang tidak sepantasnya dikeluarkan oleh seorang pejabat negara, pernyataan yang menyakiti hati anak-anak bangsa ini dan sebaliknya menyenangkan para pelaku korupsi.

Secara praktis salah satu pelajaran besar yang kita dapatkan selama bulan Ramadan adalah, memahami urgensi dan kedudukan Tuhan dengan segala kuasanya dalam kehidupan. Tuhan pemiliki otoritas untuk melindungi kita dari segala masalah, melindungi kita dari godaan setan yang terkutuk. Ketika kita terlanda pikiran jahat, pikiran untuk melakukan berbagai bentuk perbuatan maksiat atau perbuatan melanggar hukum, maka pada detik itulah kita harus (wajib) berhakikat kepada Tuhan untuk memohon perlindungan dari godaan setan yang terkutuk itu sehingga kita tidak jadi berfikir untuk melakukan sebuah perbuatan maksiat atau berbagai bentuk perbuatan melanggar hukum.

Intinya kita jangan pernah memberi peluang kepada hawa, nafsu, dunia setan untuk menggoda kita atau menjerumuskan kita kepada berbagai bentuk kejahatan. Kita jangan pernah lalai terhadap hal ini oleh karena ruang untuk masuknya hawa, nafsu, dunia setan bukan hitungan jam, hari atau bulan akan tetapi hitungan menit bahkan detik. Terlupa dan terlena sedikit maka di situlah setan akan memamfaatkan kelemahan itu. Lihatlah dan ingat kembali karena penulis yakin kita semua pasti pernah mengalami bagaimana kelalaian yang hitungan menit atau detik itu kita alami dan nanti setelah itu terjadi kita baru tersadar dan menyesal telah melakukan perbuatan jahat. Sayangnya kejadian seperti ini seringkali berulang terjadi pada diri kita, masyarakat, bangsa dan negara ini. Padahal bila kita sudah alami maka jangan lagi pernah hal itu kita ulangi. Betapa tidak korupsi sudah terjadi berulang-ulang selama puluhan tahun, demikian juga, tipu menipu, pencurian, perampokan, pembunuhan dan berbagai bentuk kejahatan sexual.

Sungguh sebuah realitas yang penulis harapkan dapat mendorong kita untuk tersadar dan berfikir ulang tentang kehidupan ini agar lebih baik. Kita tempatkan dimana nilai-nilai kebiasaan atau adat istiadat (keberadaannya yang sudah ribuan tahun) yang senantiasa menuntut kita untuk menjadi baik. Kita sembunyikan di mana nilai-nilai ajaran agama Islam yang sudah 1500 tahun usianya sehingga kita masih belum bisa menjadi rahmat bagi manusia lain dan bagi alam semesta. Demikian juga dengan hukum perundang-undangan yang sudah ratusan tahun usianya, kenapa berbagai bentuk perbuatan maksiat dan perbuatan melanggar hukum masih saja terjadi bahkan kuantitas dan kualitasnya semakin meningkat. Korupsi tidak lagi ratusan juta akan tetapi sudah ratusan miliar bahkan triliunan (korupsi BLBI, EKTP, Jiwasraya dan Asabri). Kejahatan tidak lagi dilakukan oleh orang-orang dewasa akan tetapi sudah melanda anak-anak yang belum dewasa, mulai dari penyalahgunaan obat-obat terlarang hingga kejahatan sexual dengan pelakunya anak-anak baru gede bahkan sudah dijadikan profesi untuk mendapatkan uang guna membiayai kebutuhan keluarga. Suami yang mempekerjakan isterinya sebagai pekerja seks komersial. Kejahatan tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah akan tetapi dilakukan oleh orang-orang terpelajar lulusan perguruan tinggi.

Penulis dan sejatinya kita semua warga bangsa ini tentu sangat berharap agar pasca Ramadan, kehidupan masyarakat, bangsa negara Republik Indonesia ini akan semakin baik. Kehidupan yang dalam bahasa agama Islam negara yang senantiasa mendapat curahan dan limpahan rahmat dari Allah Tuhan Yang Maha Esa sebagai bangsa dan negara yang baldatun toyyibatun warabbun gafur. Memang tentu tidak serta merta atau semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi kita semua bisa memulai sedikit demi sedikit. Memulai dari diri kita masing-masing. Memulai dari lingkungan keluarga untuk senantiasa menjaga diri untuk tidak lagi berbohong, menipu dan menyalah-gunakaan pangkat dan jabatan yang kita emban. Insya Allah dengan memulai dari diri kita masing-masing kemudian menjadi gerakan masyarakat hingga akhirnya menjadi gerakan bangsa dan negara.

Sejatinya tidak dapat kita pungkiri atau membantahnya bahwa, hanya lah nilai-nilai ajaran agama (Islam) yang dapat memperbaiki hidup dan kehidupan ini, baik sebagai pribadi, keluarga maupun sebagai bangsa dan negara. Tentu kita tidak menafikan sumber nilai kehidupan lainnya seperti ilmu pengetahuan dan teknologi akan tetapi sains dan teknologi ada ranahnya tersendiri yaitu memfasilitasi dan mempermudah dalam mengatur kehidupan bukan untuk memperbaiki dan menyelematkan kehidupan yang merupakan ranahnya agama (Islam). (*)

* Akademisi UIN Alauddin Makassar.