Lobster

Kastara.ID, Jakarta – Pengembangan sektor budidaya memang tengah menjadi salah satu fokus pemerintah demi mendukung perekonomian nasional, termasuk dengan mendorong kegiatan budidaya lobster. Guna optimalisasi kegiatan budidaya ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) menerapkan inovasi terbaru pada kegiatan budidaya lobster. Caranya dengan membangun percontohan inovasi pakan pembesaran lobster pasir di Desa Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Percontohan ini akan dikelola oleh Pokdakan Geger Girang di lahan seluas 1.360 m2 dengan omzet sekitar Rp 690 juta per tahun. Kelompok ini melakukan kegiatan pembesaran lobster dalam tiga segmen, yaitu segmen 1 mulai ukuran benih bening lobster (BBL) atau Peurulus hingga 10 gram; segmen 2 dengan ukuran 10 gram – 50 gram; dan segmen 3 dengan ukuran 50 gram atau 100 gram – 200 gram dengan waktu pemeliharaan sekitar 4 bulan.

Berdasarkan hasil percontohan selama lebih kurang 3 bulan, dengan inovasi pakan yang diberikan menghasilkan variasi survival rate (SR) pada segmen 1, 2 dan 3 berturut turut sejumlah 35%, 78,75% dan 98,25%. Berat akhir masing-masing 12,4 gram, 36 gram, dan 225 gram. SR pada segmen I yang masih di bawah 50% diakibatkan oleh kondisi alam yang bergelombang saat penebaran dan pemeliharaan awal sehingga berpengaruh terhadap pemangsaan pakan yang diberikan, mengingat wadah budidaya yang berupa Keramba Jaring Apung (KJA) sangat terpengaruh oleh kondisi permukaan air.

Inovasi teknologi pakan pembesaran lobster ini merupakan hasil riset dari Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol, Bali.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara RI, pada prinsipnya kegiatan budidaya lobster dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada. Dengan demikian, para pelaku utama memiliki kesempatan untuk mengembangkan budidaya lobster.

Kepala BRSDM Sjarief Widjaja mengatakan, lobster merupakan komoditas perikanan yang memiliki harga tinggi. Menurutnya, lobster ukuran konsumsi dengan berat sekitar 250 gram per ekor harganya dapat mencapai Rp 380.000 per kg. Sumber benihnya pun tersedia di alam. Untuk itu, ia menilai perlu adanya inovasi teknologi agar potensi yang ada dapat dikelola secara optimal.

“Sebagai makhluk Tuhan yang diberikan kapasitas intelektual yang tinggi dan kecerdasan, maka kita perlu meningkatkan produksi sumber protein bagi masyarakat kita. Salah satunya melalui lobster ini. Namun tentunya tanpa merusak alam sebagai sumber dari plasma nutfah tersebut sehingga upaya pembesaran menjadi salah satu cara,” ujar Sjarief saat menghadiri kegiatan percontohan inovasi pakan pembesaran lobster pasir di Lombok, Kamis (12/11).

Namun menurut Sjarief, hal yang tak kalah penting dalam setiap kegiatan budidaya adalah persoalan pakan. Untuk itu, formulasi pakan yang tepat dibutuhkan di setiap tahap budidaya lobster. Segmentasi ini juga diharapkan bisa menjadi segmen usaha guna meningkatkan kesejahteraan kelompok.

“Lobster dengan masing-masing tahap perkembangan membutuhkan formulasi pakan yang berbeda-beda karena sangat bergantung pada kemampuan mereka menyerap pakan tadi. Kalau kecil, tentu saja butiran-butiran pakannya akan menjadi semakin halus. Tapi semakin besar, dia membutuhkan konten pakan yang sesuai, misalnya membutuhkan banyak kalsium pada saat dia tumbuh besar dan menumbuhkan cangkang,” jelas Sjarief.

Oleh karena itu, Sjarief memberikan apresiasi kepada BBRBLPP Gondol, khususnya para peneliti yang telah menemukan inovasi ini. Dengan adanya inovasi pakan pembesaran lobster ini, ia pun mendorong kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) untuk dapat ikut melakukan pembesaran lobster dari segmen ke segmen maupun menjadi kelompok penyedia pakan.

Sjarief melanjutkan, untuk pengembangan pakan lobster dibutuhkan kekerangan sebagai bahan baku. Menurutnya, lobster yang mendekati usia dewasa juga akan memakan kekerangan yang ada di sekitarnya, bahkan hingga cangkang kerangnya. Maka ia menilai, budidaya kekerangan juga perlu digalakkan.

Ia mendorong, para peneliti untuk mengamati dan meneliti lebih lanjut perilaku lobster ini, seperti bagaimana tumbuh, bagaimana besar, dan bagaimana lobster menghadapi atau bersembunyi dari predator.

“Kita dapat membentuk suatu ekosistem tiruan pada saat kita melakukan pembesaran. Misalnya dengan menyiapkan paralon-paralon untuk tempat lobster bersembunyi. Kemudian kita siapkan beberapa pola-pola bebatuan atau paving block yang berongga. Itu adalah pola-pola tiruan dari ekosistem alam yang biasanya mereka di sana,” bebernya.

Di samping penerapan teknologi dan pembentukan kelompok, Sjarief juga menginginkan adanya riset sosial ekonomi untuk menghitung potensi ekonomi dan harga pasar lobster. Tujuannya agar masyarakat bisa mendapatkan kehidupan dan keuntungan yang layak dari kegiatan budidaya ini.

“Pelatihan pembesaran maupun uji coba pembesaran lobster sampai ukuran 250 gram ini merupakan upaya yang baik. Tapi lebih penting lagi adalah bagaimana kita membangun komunitas budidaya lobster ini dimana semuanya bisa hidup secara berdampingan, damai, sejahtera, dan bisa mengembangkan dirinya,” tandas Sjarief.

Sementara Kepala Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP), Lilly Aprilya Pregiwati menyebut, pelaksanaan percontohan ïnovasi teknologi pakan pembesaran lobster pasir ini telah dilaksanakan sejak Juli lalu. Kegiatan diawali dengan acara sosialisasi dan serah terima bahan percontohan mengundang stakeholder terkait secara daring dan luring. Saat ini, dilakukan temu lapang untuk melihat perkembangan lobster yang dibudidayakan.

Menurutnya pertemuan antara pelaku utama dan pelaku usaha dengan para penyuluh perikanan dan peneliti atau ahli perikanan dalam kegiatan temu lapang ini merupakan upaya peningkatan produksi perikanan. Dalam kegiatan temu lapang ini, semua pihak dapat berdiskusi mengenai keberhasilan kegiatan perikanan maupun penerapan teknologi sebagai tindak lanjut uji coba di lapangan.

Terkait inovasi pakan pembesaran lobster, Lilly berpendapat, ketersediaan pakan secara kontinyu baik dari segi kualitas dan kuantitas mutlak diperlukan. Hal ini untuk memastikan industrialisasi atau pengembangan bisnis ke depan dapat terlaksana dengan baik.

Sedangkan Lombok Timur, menurut Lilly, dipilih sebagai lokasi percontohan karena perairannya merupakan salah satu lokasi sumber benih lobster. Potensi ini diharapkan dapat menghantar masyarakatnya ke kehidupan yang lebih baik.

Lilly menambahkan, berdasarkan hasil analisis usaha yang dilakukan, inovasi ini tercatat memiliki prospek yang menguntungkan bagi pembudidaya.

Adapun I Nyoman Adiasmara Giri, Peneliti BBRBLPP Gondol yang mengembangkan inovasi ini menyatakan, perairan Lombok, Jawa, dan Sumbawa memiliki potensi dan produksi benih lobster alam yang besar. Di tahun 2016, produksinya tercatat lebih dari 100 juta, di mana 90% di antaranya merupakan lobster jenis pasir. Namun, selama ini praktik budidaya hanya menggunakan pakan segar (trash fish). Oleh karena itu, perlu dikembangkan pakan buatan yang efektif untuk mendukung kegiatan budidaya ini.

Menurut Giri, pakan buatan ini dapat mendukung pertumbuhan lobster dengan baik. Sementara, kombinasi pakan buatan dengan pakan segar (ikan, kepiting, dan kekerangan) dapat meningkatkan laju pertumbuhan lobster.

“Selain itu, kita juga ketahui bahwa laju pertumbuhan lobster jantan jauh lebih cepat daripada lobster betina,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala BBRBLPP Gondol, Bambang Susanto mengungkapkan harapan agar inovasi ini dapat dikembangkan lebih lanjut, terlebih lokasi percontohan merupakan sumber benih bening lobster. Dengan demikian, diharapkan kedepan harga benih dapat ditekan seminimal mungkin.

“Kegiatan seperti ini diharapkan dapat berkelanjutan untuk mendukung pengembangan usaha masyarakat dan memberikan manfaat sebesar besarnya untuk kesejahteraan,” tutupnya. (mar)