Komisi Informasi (KI)

Kastara.ID, Jakarta – Komisi Informasi (KI) Provinsi DKI Jakarta berkomitmen untuk menyelesaikan perkara sengketa informasi dalam 100 hari kerja. Belasan perkara sengketa informasi tersebut diwariskan dari periode sebelumnya kepada komisioner yang baru dilantik 24 November 2020 lalu.

Komisioner KI Provinsi DKI Jakarta Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi (PSI), Arya Sandhiyudha mengatakan, sebagian besar sengketa infomasi tersebut belum dibahas dan masuk persidangan. Dirinya berkomitmen untuk menyidangkan dan menyelesaikan sengketa informasi tersebut.

“Sengketa informasi yang belum dibahas atau belum disidangkan berjumlah 14 perkara, dan 14 perkara itu merupakan perkara yang harus diselesaikan periode lalu. Kita bertekad untuk menyidangkan dan menyelesaikan perkara-perkara sengketa informasi yang tidak sempat dibahas tersebut dalam 100 hari kerja awal,” ujar Arya, Selasa (15/12).

Dia menjelaskan, seluruh Komisioner KI Provinsi DKI Jakarta akan terus mendorong dan mengawal keterbukaan informasi agar mengoptimalkan penyelesaian perkara sengketa informasi dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan Komisi Informasi.

“Jangan sampai sengketa informasi yang tertunda tidak diselesaikan. Kita sudah agendakan, pekan lalu dua perkara sengketa informasi sudah disidangkan, pekan ini ada sembilan perkara. Jadi kita kebut,” kata Arya.

Untuk memudahkan penyelesaian sengketa informasi, KI Provinsi DKI Jakarta Bidang PSI telah mengategorikan perkara ke dalam lima klaster berdasarkan informasi yang dimohonkan selama tahun 2020, yaitu informasi data perseorangan, informasi terkait pelayanan publik atau standar kinerja Badan Publik, aset atau pertanahan, laporan keuangan, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Menurutnya, pengkategorian perkara ke dalam lima klaster bertujuan memudahkan pengkajian setiap perkara sengketa informasi agar lebih efisien.

“Terobosan yang kita lakukan adalah clustering. Tujuannya memetakan permasalahan sesuai UU terkait. Kita lihat subjek permohonannya seperti apa bisa kita pilah-pilah. Kita sebagai mediator menentukan kesepakatan antara permohon dan termohon dengan memberikan gambaran secara UU posisi tema tersebut di mana,” jelasnya.

Menurutnya, Badan Publik harus membuka akses bagi setiap Pemohon untuk mendapatkan informasi publik. Hal ini sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara.

“Seluruh badan publik atau lembaga negara yang menerima APBN dan APBD wajib membuka akses bagi setiap pemohon untuk mendapatkan informasi publik dan masyarakat berhak mengakses informasi publik seluas-luasnya secara terbatas. Kecuali informasi yang dikecualikan untuk dibuka,” ucapnya.

Dia menambahkan, ketika masyarakat ada yang ingin mengakses kemudian badan publik tersebut tidak memberikan atas alasan tertentu, sementara pihak masyarakat sebagai pemohon informasi publiknya tetap bersikeras membutuhkan maka di situ terjadi sengketa infomasi.

“Sengketa informasi itu yang disidangkan sebagai perkara yang harus diselesaikan oleh Majelis KI DKI Jakarta untuk ditentukan apakah informasi publik tersebut harus dibuka sepenuhnya, sebagian, atau tidak boleh dibuka dan diakses oleh pemohon. Kita optimistis kalau sudah masuk tahap mediasi bisa selesai,” tandas Arya. (hop)