Kastara.ID, Bekasi — Wacana pengaturan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) dalam undang-undang (UU) tersendiri sebagai upaya mengefektifkan kerja-kerja parlemen kembali mencuat. Wacana UU tentang DPD ini merupakan upaya untuk mengatur kembali kewenangan lembaga negara yang mewakili daerah ini agar lebih kuat dan setara dengan DPR baik dari sisi fungsi, tugas, dan kewenangannya dalam sistem presidensial.

“Upaya agar DPD diatur dalam undang-undang tersendiri diperkenankan dalam konstitusi karena mempunyai landasan teoritik dan landasan yuridis yang kuat. Selain itu dalam UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) masih terdapat ketimpangan pengaturan kelembagaan antara DPR dan DPD yang begitu kasat mata. Ketimpangan inilah yang salah satunya membuat kerja-kerja parlemen selama ini belum sepenuhnya efektif di mata publik,” ujar Fahira Idris di sela Dialog Publik “Pengaturan DPD RI Melalui Undang Undang Tersendiri dalam Perspektif Hukum, Politik, dan Administrasi Pemerintahan” di Bekasi, Jawa Barat (16/6).

Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta ini mengungkapkan, dari perspektif teori lembaga negara, ilmu dan hukum perundang-undangan, gagasan pengaturan DPD dalam UU tersendiri, diperkenankan oleh konstitusi. Pasal 22D ayat (3) UUD NRI 1945, yang berbunyi: “Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang” sama dengan ketentuan tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam konstitusi semuanya menggunakan frase “dengan undang-undang” sehingga masing-masing melahirkan UU tersendiri yang mengatur lembaga-lembaga ini (UU tentang BPK, UU MA, UU KY, dan UU MK).

Pentingnya DPD RI diatur dalam UU tersendiri juga dikarenakan ketimpangan dalam UU MD3. Contohnya, dalam UU MD3 secara umum DPR diatur dalam 178 ketentuan. Sedangkan DPD hanya diatur dalam 16 ketentuan. Jadi narasi lembaga perwakilan yang harus saling mengisi demi implementasi check and balance dalam demokrasi desentralistik tidak tergambar dalam UU MD3. Selain itu, dukungan aspek struktur organisasi dalam rangka mendukung pelaksanaan wewenang, fungsi, dan tugas antara DPR dan DPD sangat tidak seimbang.

Begitu juga pengaturan soal hak. Hak anggota DPR dirumuskan dalam 11 item, sedangkan hak anggota DPD dirumuskan hanya dalam tujuh item. Padahal hak sebagai Anggota DPD merupakan prinsip yang harus dipergunakan untuk mem-backup pelaksanaan fungsi kelembagaan. Termasuk juga ketimpangan item alat kelengkapan. Dalam UU MD3, DPR diberi 10 item alat kelengkapan. Sementara di DPD hanya ada tujuh item alat kelengkapan. Ini menunjukkan bahwa dukungan aspek struktur organisasi dalam rangka mendukung pelaksanaan wewenang, fungsi, dan tugas antara DPR dan DPD sangat tidak seimbang.

“Sekali lagi, gagasan pengaturan DPD dalam UU tersendiri, diperkenankan oleh konstitusi dan ilmu perundang-undangan. Equal, seimbang dan nondiskriminatif adalah prinsip konstitusi dan prinsip dasar dalam pengelolaan di tingkatan lembaga tinggi negara dan ini belum didapat oleh DPD RI,” pungkas Fahira Idris. (dwi)