Koperasi

Oleh: Anis Nur Nadhiroh* 

MUNCULNYA Hari Koperasi Nasional, bisa menjadi pengingat warga masyarakat bahwasanya terdapat tujuan negara yang belum tercapai. Yakni tujuan berkoperasi dengan mengusung ekonomi kerakyatan dengan sesuai hakikat koperasi diciptakan. 

Awal mula koperasi diciptakan adalah bermula dari Revolusi Industri 1.0, yakni yang ditandai dengan adanya pertemuan pada tahun 1770 kemudian diikuti dengan keadaan yang banyak menyengsarakan kaum buruh. Puncaknya terjadi 70 tahun dari era Revolusi Industri 1.0 dengan ditandai adanya gerakan koperasi yang dimotori oleh koperasi Pekerja yang ada di Inggris. Dari sini terlihat bahwasanya gerakan koperasi lebih awal daripada buku Das Kapitalnya Karl Marx. Bukunya Marx terbit 1867. Artinya Karl Marx baru ngomong tentang Das Capital sebagai Antitesisnya Kapitalisme, sementara reudeun sudah ada di tahun 1844. 

Indonesia sedang berada di dalam situasi yang dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit. Misalnya saja perkoperasian Indonesia dituntut untuk segera mentransformasikan diri menjadi sebuah perekonimian yang lebih maju dan canggih. Seperti halnya dengan munculnya Revolusi Industri 4.0, Gig Economy, Sharing Economy. Seakan-akan beberapa hal tersebut telah menjadi mode dan tren, kemudian jika tidak mengikuti perkembangannya orang akan ketinggalan. Namun pada saat yang sama, masyarakat Indonesia sulit sekali melepaskan ikatan-ikatan kultural, sebuah tradisi yang entah dapat dikombinasikan atau tidak.

Sama halnya jika berbicara dengan Koperasi Platform. Situasinya bahkan bisa dikatakan lebih rumit lagi. Hal ini dikarenakan mindset yang ada di benak masyarakat jika berbicara mengenai koperasi adalah hal kuno, dan perlu direvolusi.

Indonesia memiliki problem khusus jika berbicara tentang Koperasi, yang perlu dijelaskan tersendiri dengan menggunakan pendekatan Historical. Jika dibandingkan dengan Jepang, Jerman, Prancis, dan Swiss, koperasi di sana lebih maju pesat. Di Jerman sepertiga banker adalah Bank Koperasi. Bukan Bank Swasta. Revision tax adalah koperasi, klub sepakbola Barcelona juga koperasi. Lalu ada masalah apa dengan Indonesia, kok koperasi dikesankan terbelakang.

Jika dilihat dari kaca mata Aturan Perundang-Undangan, UU Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian telah Batal Demi Hukum. Hal ini dikarenakan UU tersebut telah melanggar konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Revrisond Baswir sebagai Ahli Ekonomi Kerakyatan menyampaikan bahwa sejak Era Orde Baru Koperasi yang sejauhnya ini dikenal telah dikerdilkan. Sehingga perlu adanya perubahan terhadap UU Perkoperasian sejak UU Koperasi Nomor 12 Tahun 1967, UU Nomor 25 tahun 1992 hingga UU Perkoperasian Nomor 17 tahun 2012. 

Dengan demikian, ketika ia mengajukan sebagai Ahli untuk melakukan permohonan pembatalan di MK, Mahkamah Konstitusi pun mengabulkan, dan mengeluarkan klausule “Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya Undang-Undang yang baru”. Dari sini artinya pemerintah harus secepatnya membuat UU Koperasi yang baru, hingga sekarang ini RUU Perkoperasian telah masuk ke dalam Prolegnas sejak tahun 2019.

Sejauh ini masyarakat memiliki paham terhadap koperasi yakni seperti UU No. 12 tahun 1967. Ini problem. Bagaimana sebuah rezim berhasil melakukan proses brandwashing atau hegemoni. Sehingga koperasi itu berubah jati dirinya dan sekarang menjadi pengetahuan publik. Bahwa koperasi itu adalah Kopma, Koperasi Wanita, Koperasi Pemoeda, Koperasi ASN dan sebagainya.

Hal di atas sebenarnya bukanlah koperasi. Sebab kalau niatan pembentukan atas dasar persekutuan dalam satu kalangan tertentu, entah atas dasar profesi, suku maupun agama dan sebagainya menurut Bung Hatta dinamakan Persekutuan Majikan. Sedangkan menurut Revrisond Baswir adalah Persekongkolan Juragan.

Jadi para juragan berkumpul melakukan usaha bareng, sehingga paradigmanya adalah mencari keuntungan atau mengakumulasikan kapital. Mau dosen sekalipun membuat koperasi tetap saja kapitalistik. Karena mereka itu membangunnya atas dasar kesadaran kelas. Dan ada kelas lain yang dieksploitasi.

Menurt UU Perkoperasian terdapat klausule Perusahaan Milik Bersama yang dikendalikan secara demokratis. Sebenarnya secara definisi saja sudah terlihat secara pelan-pelan adanya kontradiksi antara kapitalisme dengan koperasi. Padahal niatan awal koperasi didirikan adalah untuk melawan adanya kapitalisme. 

Merekonstruksi Pemahaman Koperasi

Melihat kondisi pemahaman masyarakat tentang koperasi yang tidak sesuai dengan khittah-nya koperasi diciptakan, maka perlu adanya perubahan cara pandang dalam melihat koperasi. Jika melihat dari cita-cita koperasi Indonesia dalam bukunya Bung Hatta dalam Swasono dan Rijal, 1985 “Gerakan Koperasi dan Perekonomian Rakyat” tujuannya yakni menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern.

Oleh karena pola pikir yang perlu dibangun adalah anti kapitalisme dulu, baru kemudian terbangunnya koperasi. Karena koperasi itu lahir dari tindakan kapitalisme. Misal guru tertindas kemudian melawan dengan cara membentuk koperasi. Jadi anti kapitalis dulu baru membentuk koperasi. Namun realitasnya sekarang adalah bikin koperasi dulu dan berpikir bagaimana cara mencari untung.

Sejak awal secara sadar koperasi itu sudah merumuskan nilai-nilai dan prinsip, yakni:

  1. Keanggotaan sukarela dan terbuka.

Dari sini sudah jelas kiranya terdapat pelarangan adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Karena melawan kapital itu perlu massa yang banyak. Jika tujuan utama perusahaan-perusahaan yang bercorak kapitalis adalah untuk mengakumulasikan kapital, maka tujuan utama koperasi adalah untuk mengakumulasikan anggota.

Oleh karenanya, tahun 1967 ada upaya membatasi atau mengkerdilkan koperasi sebagai upaya untuk melakukan ekspansi kapitalisme ke Indonesia. Jadi membaca UU 12 tahun 1967 harus dibaca dengan UU Nomor 1 tahun 1967 mengenai PMA. 

  1. Pengendalian Secara demokratis oleh anggota
  2. Partisipasi ekonomi anggota
  3. Otonomi dan Independent
  4. Pendidikan, Pelatihan, dan Infromasi
  5. Kerjasama antar koperasi
  6. Peduli terhadap masyarakat.

Jika menilik penjelasan Pasal 33 UUD 1945, “Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi”.

Pasal 33 tersebut di atas adalah pasal sosialis. Sebagaimana Pancasila sebagai ideologi negara juga sangat sosialis. Hal ini bisa dilihiat para perumusnya yakni ada Soekarno dan Syahrir, bahkan tanpa melihat Tan Malaka yang mengusung ide pemikiran tentang Gerakan, Politik dan Ekonomi sekalipun Pancasila telah dicetuskan oleh mereka yang menganut paham sosialis. Namun karena masa kepemimpinannya Soeharto, Pancasila menjadi Eka Prasetya Pancadaksa. Ini sudah bagian manipulasi, Pancasila itu ideologi negara bukan pedoman etika perilaku negara. Oleh karena kalau kita berbicara mengenai koperasi, sudah seharusnya kita merujuk pada demokrasi ekonomi dan asas kekeluargaan. Kemudian juga di Indonesia kalau berbicara tentang demokrasi, tidak cukup demokrasi politik saja, melainkan juga perlu berbicara demokrasi ekonomi. Sebagaimana sila ke empat Pancasila.

Bung Hatta sebagai bapak Koperasi mengidentifikasikan bahwa koperasi itu bukan hanya menyentuh ke dalam wilayah mikro saja, melainkan pada lingkup makro Bung Hatta juga menginginkannya. Oleh karenanya jika koperasi Indonesia tumbuh subur, maka buahnya siap dipetik oleh seluruh rakyat Indonesia, karena berasaskan kekeluargaan. Dengan ini Bung Hatta menyebutnya sebagai Kebun Koperasi. Namun jika sebaliknya maka yang terjadi adalah kebun kapitalis. Dengan begitu rakyat gak bisa ikut menikmatinya, karena rakyat gak punya hak milik di dalamnya.

Kembali ke dalam cita-cita koperasi Indonesia, jika koperasi negara ini kembali ke dalam khittah penciptaannya maka akan selalu siap dihadapkan dengan perkembangan teknologi yang semakin kesini semakin massif. Hal tersebut karena koperasi adalah value, koperasi adalah prinsip. Mau secanggih apapun tidak akan ada masalah, begitupun penyelenggaraan platform itu semestinya diinduksi dengan prinsip-prinsip koperasi.

Jadi koperasi pada era Orde Baru koperasi sudah semacam social engineering, yang justru memecah belah dan melemahkan koperasi. Pun demikian pasal UU Nomor 17 tahun 2012 Pasal 27, Ayat (1)  menggunakan diksi yg sama, yakni kesamaan kepentingan pada klausule “Angota Koperasi Primer merupakan orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, mempunyai kesamaan kepentingan, dan memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar”. Sebagai perbandingan bisa dilihat keanggotaan koperasi pada UU No. 11 tahun 1958 “Yang menjadi anggota koperasi adalah yang memiliki kepentingan di dalam usaha koperasi…” tak ada diksi kesamaan.

Seperti sekarang ini banyak sekali muncul istilah baru soal ekonomi, misal shearing economy. Apanya yang disharing, lawong kapitalisme hanya berjalan pada pemilik modal. Misal juga buruh dan sebagainya itu malah kehilangan statusnya sebagai buruh, karena bukan buruh lagi. Sudah bukan proletariat, namun sudah menjadi precariat. Hal itu satu kelas lebih rendah lagi dari proletariat. Kalau Marhaenisme itu agak lebih ke atasnya lagi. Punya alat produksi tapi miskin. Kalau proletariat juga demikian. Sedang precariat itu tidak memiliki kepastian lagi, tidak punya job security, jabatan gak jelas, kerjaan gak jelas, jaminan sosial gak jelas, pension pun juga gak ada.

Membangun Kesadaran Koperasi Platform

Era sekarang bukan persoalan majunya tehnologi lagi. Namun karena banyak pekerjaan yang belum terekam oleh digital, jadi perlu adanya platform untuk mengatur semua ini. Oleh karenanya dari sini penting perlunya adanya data. Data itu penting. Siapa yang menguasai data maka dialah yang akan memenangkan kompetisi. Inilah yang memicu adanya transformasi usaha dengan tehnologi dengan berbasis internet.

Kalau demikian kita akan menjadi resourse, nobody, nama kita menjadi tak lagi penting. Sama dengan batu dan benda-benda lain yang sedang diekstrak. Demikian juga, sekarang juga lagi diekstrak pikiran, perasaan dan pengalamannya. Nah karena status manusia karena hanya resourse itu gak perlu izin. Sudah bukan lagi berbicara tentang eksploitasi, melainkan saatnya bicara the future of humanity. Oleh karena itu sudah harus lebih dari sekadar bertindak, lebih dari sekedar melawan kapitalisme. Ini soal masyarakat mampu merebut kembali eksistensinya sebagai makhluk. 

Karena sekarang yang sedang beredar adalah kapitalisme platform. Di mana yang dimaksud dengan platform sendiri adalah digital infrastruktur yang memungkinkan dua atau lebih group untuk saling berinteraksi. 

Kapitalisme platform adalah julukan yang diberikan oleh Nick Srnicek (2017), terhadap fenomena bisnis berbasis platform yang oleh sementara kalangan sering dikaburkan dengan menyebutnya sebagai gig economy, sharing economy, atau industry 4.0. Menurut Srnicek, kehadiran kapitalisme platform terutama dipicu oleh adanya kebutuhan pada perusahaan-perusahaan kapitalis untuk mengekstrak dan menggunakan data dalam menjalankan bisnis.

Demikian juga terdapat kapitalisme pengintai (surveillance capitalism), di mana maksudnya adalah kapitalisme tingkat lanjut yang bekerja dengan cara mengekstrak, mengolah dan memasarkan data sebagai komoditas. Menurut Zuboff (2019), dalam melakukan proses komodifikasi data tersebut, kapitalisme pengintai secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah cuma-cuma untuk diolah menjadi data perilaku.

Oleh karena itu, hadirlah koperasi platform sebagai platform digital yang mana sebuah website atau aplikasi seluler yang dirancang untuk menyediakan jasa atau menjual barang yang dimiliki dan diselenggarakan secara kolektif oleh orang-orang yang tergantung atau berpartisipasi di dalamnya. Kelebihan koperasi platform yakni setiap user adalah berdaulat. Sehingga jika ada big data, jika terjadi ektraksi dan sebgainya itu bisa dikontrol oleh partisipan. 

Nah, menurut owner platform koperasi ini langkahnya adalah partisipan ownership, kedua adalah demokrasi goverment. Basisnya adalah komunal ownership. Jadi tidak bisa kalau bicara koperasi platform itu isinya produsen semua. Kalau gitu kan jadinya juragan klub lagi. (*)

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarja Hukum UII Yogyakarta