China

Kastara.ID, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil meminta Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror tidak sewenang-wenang. Nasir juga meminta Densus 88 mengedepankan hukum dan keadilan dalam penangkapan tiga mubaligh, yakni Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Ahmad Zain An Najah, dan Ustadz Anung Al-Hamat. Ketiganya ditangkap pada Selasa (16/11).

Saat memberikan keterangan tertulis, Rabu (17/11), Nasir mengatakan, tindakan sewenang-wenang akan menyakiti hati masyarakat. Pasalnya ketiga ustadz itu dikenal dekat dengan umat. Nasir menambahkan, dalam berbagai ceramahnya meraka tidak pernah menghujat pemerintah dan mengkafirkan pihak-pihak tertentu atau berorientasi takfiri.

Itulah sebabnya politisi PKS ini menyatakan pemeriksaan ketiga ustad tersebut harus dilakukan secara transparan. Terlebih hingga saat ini belum diketahui secara pasti dasar penangkapan Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain, dan Ustadz Anung Al-Hamat.

Anggota DPR yang pernah menjadi anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme ini mengakui UU Nomor 5 Tahun 2018, Pasal 28 ayat (1) memberikan hak kepada penyidik melakukan penangkapan terhadap pihak yang diduga melakukan tindakan terorisme. Namun Nasir berpendapat sebaiknya Densus 88 memberikan penjelasan terkait alasan penangkapan.

Transparansi saat penengkapan dan penyelidikan menurut Nasir penting. Hal ini guna mencegah munculnya kesan Densus 88 Antiteror hanya menyasar dan menargetkan penangkapan terhadap mubalig, ustadz, atau tokoh agama Islam. Dikhawatirkan masyarakat akan menganggap aparat kepolisian, khususnya Densus 88 bertindak secara tebang pilih dan hanya menyudutkan umat Islam.

Anggapan tersebut diperkuat dengan sikap Densus 88 yang tak kunjung diterjunkan ke Papua. Padahal kelompok teroris separatis Papua sudah pernah mengumumkan tantangan kepada satuan elite milik Kepolisian RI itu. Namun bukannya meringkus Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua, Densus 88 justru menangkap beberapa ustadz dan mubaligh.

Politisi asal Aceh ini pun menegaskan, sebagian besar mubaligh dan penceramah Islam di Indonesia tidak pernah mengangkat senjata atau membeli senjata yang dijual oleh oknum aparat. Para mubaligh juga tidak pernah mendirikan gerakan separatis apalagi mengumumkan berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Nasir pun membandingkan para mubaligh dengan KKB Papua yang telah dinyatakan pemerintah sebagai kelompok teroris pada April 2021. Namun sampai saat ini KKB Papua terus beraksi membunuh rakyat sipil, tenaga kesehatan, serta aparat TNI dan Polri. KKB juga merusak sejumlah fasilitas umum, seperti Puskesmas, pasar, dan sekolah. Anehnya aparat keamanan seolah tak berdaya menghadapi kelompok teroris di Papua.

Oleh karena itu, Nasir menyerukan kepada Densus 88, Polri, TNI dan Pemerintah  mempertimbangkan faktor objektifitas dalam upaya menanggulangi terorisme. Nasir pun mengibaratkan, jangan sampai musuh negara yang nyata dan sudah di depan mata dibiarkan, sementara kawan yang turut membela NKRI justru dicurigai dan ditangkap dengan tuduhan terorisme.

Nasir juga mengharapkan adanya hubungan yang harmonis antartokoh agama, terutama pemuka agama Islam. Menurutnya pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap mereka guna menjaga kedaulatan NKRI. (ant)