Kastara.ID, Jakarta – Citra Network Nasional (CNN) merilis temuannya yang menempatkan pasangan Airlangga Hartarto-Muldoko (30,2%) Unggul atas Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar (22,2%), Puan Maharani-Ganjar Pranowo (21,2%), dan Anies Baswedan-Agus Hatimurti Yudjoyono (12,6%), dan tidak memilih (13,8%).

“Temuan itu tentu sangat mengejutkan, karena sangat berbeda dengan temuan dari lembaga survei lainnya. Hasil lembaga survei yang kredibel umumnya menempatkan elektabilitas Airlangga dan Moeldoko pada peringkat terendah,” ungkap M Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID, Rabu (18/1) pagi.

Disebutkan Jamil, elektabilitas Airlangga dan Moeldoko bahkan masih jauh di bawah AHY. Level elektabilitas Airlangga dan Moeldoko masih setara Puan Maharani.

Menurutnya, hasil survei tersebut layak diragukan. Hal itu bisa disebabkan dua hal.

“Pertama, kesalahan metodologi, khususnya dalam menetapkan sampel dan alat ukur (instrument) yang digunakan. Kesalahan dua hal ini akan menyebabkan hasil penelitian menjadi invalid,” jelas Jamil.

“Dua, kesalahan dari peneliti. Kesalahan ini bisa disengaja dan tidak disengaja. Kalau kesalahan tidak disengaja tentu dapat dimaafkan. Sebab, bisa saja keterbatasan pengetahuan si peneliti tentang metode survei,” tambahnya.

Jamil juga mengingatkan, bila disengaja, maka jelas ada upaya manipulasi data untuk mengerek elektabilitas seseorang. Lembaga survei seperti ini jelas memanfaatkan hasil riset untuk membentuk dan menggiring pendapat umum.

“Karena datanya invalid, maka pendapat umum yang dibentuk tentulah menyesatkan. Pendapat umum seperti ini disebut pendapat umum palsu,” jelas pengamat yang juga dosen Metode Penelitian Komunikasi ini.

Disebutkan Jamil, lembaga survei seperti itu sudah abai terhadap etika ilmiah yang mengedepankan objektivitas. Mereka ini tak layak menjadi peneliti, karena dapat memanipulasi data sesuai kehendak pemesan.

“Jadi, sudah saatnya dilakukan penertiban terhadap lembaga survei. Jangan sampai mereka berlindung di lembaga survei, tapi sebenarnya mereka melaksanakan peran tim sukses pemenangan kandidat atau partai tertentu,” kata penganat yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta.

Menurut Jamil, orang-orang berkedok seperti itu harus sudah diakhiri. Mereka sudah merusak tatanan demokrasi dengan berkedok hasil survei.

“Masalahnya, siapa yang bisa menindak lembaga survei seperti itu?” pungkasnya. (dwi)