Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Ploso

Kastara.ID, Jakarta – Kiai dan santri tetap menjadi rebutan saat mendekati hajatan Pilpres. Setiap capres seolah paling peduli terhadap kiai dan santri.

Kondisi tersebut menjadi sorotan M Jamikuddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, yang disampaikan kepada Kastara.ID, Senin (18/9) pagi.

Menurut Jamil, Capres pun intens mengunjungi pesantren. Mereka mengubah penampilan dengan mengenakan sarung, layaknya yang dikenakan kiai dan santri.

“Para capres seolah berempati dengan kehidupan pesantren. Mereka pun turut duduk beralaskan tikar atau karpet sederhana,” papar Jamil.

Mereka juga berziarah ke makam-makam yang dihormati para kiai dan santri. Doa pun dipanjatkan untuk mendapat keberkahan.

“Ritual seperti itu tampaknya tidak berubah dari setiap Pilpres. Kiai dan santri sibuk menyambut capres di pesantrennya,” imbuhnya.

Namun ritual seperti itu sontak berkurang seiring usainya hajatan Pilpres. Orang-orang penting pun tak lagi sowan ke pesantren. Tak ada lagi keramaian di pesantren yang mendapat publikasi luas media.

Kiai dan santri kembali hidup normal. Kiai menggembleng santrinya untuk menjadi dai terkemuka dan berintegritas.

“Realitas itu tampaknya harus diubah. Pesantren tak boleh lagi hanya menjadi tempat untuk mendulang suara bagi capres,” jelas pengamat yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Untuk itu, pengelola pesantren harus berani memasang jarak dengan para capres. Netralitas harus dikedepankan agar para santri dapat memilih pasangan capres lebih independen.

“Kalau hal itu dilakukan, ritual lima tahunan di pesantren tak perlu terjadi. Pesantren akan menjadi lembaga paling dihormati. Sebab, para capres akan menghormati netralitas dan independensi pesantren, termasuk kiai dan santrinya,” tandasnya. (dwi)