Banjir

Kastara.ID, Jakarta – Banjir yang terjadi di Jakarta memerlukan solusi yang terintegrasi. Pasalnya, banjir di Jakarta dapat dipicu oleh tiga hal yakni, meningkatnya debit air dari hulu, hujan lokal, serta rob yang terjadi di wilayah hilir.

Untuk mencapai sebuah kesepahaman dan solusi yang terintegrasi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Korps Alumni Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan diskusi yang mengangkat tema “Banjir dan Manajemen Bencana”.

Diskusi tersebut dibuka pelaksanaanya oleh Ketua DPD Korps Alumni KNPI DKI Jakarta, Mohamad Taufik. Sementara, bertindak sebagai narasumber dalam diskusi tersebut Asisten Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Yusmada Faizal dan Direktur Sungai dan Pantai, Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Jarot Widyoko.

Kemudian Anggota Komisi V DPR RI Ahmad Riza Patria, Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna, Kepala Bappeda Kota Bogor Naufal Isnaeni, serta perwakilan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi dan Tangerang Selatan.

Diskusi juga dihadiri oleh anggota DPRD periode 2014-2019 Bestari Barus, serta sejumlah aktivis seperti Amir Hamzah, Rico Sinaga, Ivan Parapat, dan Mohammad Syaiful Jihad.

Ketua DPD Korps Alumni KNPI Provinsi DKI Jakarta Mohamad Taufik mengatakan, diskusi ini memiliki arti penting untuk solusi secara komprehensif dan terintegrasi terkait penanggulangan banjir di Jakarta.

“Kita perlu duduk bersama dan bersinergi. Pemerintah daerah di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan Kementerian PUPR dan Pemprov DKI Jakarta harus melakukan langkah bersama. Setelah ini kita juga akan undang pakar,” ujarnya, di lokasi acara Gedung KNPI DKI Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur, semalam (18/1).

Taufik menyoroti, salah satu yang perlu segera dituntaskan adalah upaya menambah kapasitas di Kali Adem, termasuk dengan melakukan pengerukan sedimen lumpur. Sebab Kali Adem menjadi hilir Kali Ciliwung setelah melalui Pintu Air Manggarai dan Kanal Banjir Barat.

“Kalau di hilir bagus, maka air juga akan cepat mengalir ke laut. Sebanyak 13 sungai di Jakarta ini kewenangannya ada di Kementerian PUPR,” terang Taufik yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI.

Pengamat Perkotaan Yayat Supriyatna menuturkan, banjir yang terjadi di Jakarta pada awal tahun memang faktor utamanya disebabkan oleh curah hujan ekstrem yang mencapai 377 milimeter/hari. Curah hujan tersebut sangat tinggi dan jarang terjadi, bahkan disebut intensitas hujan 1.000 tahunan.

“Saat ini memang saatnya seluruh pemangku kepentingan melakukan evaluasi. Kita persiapkan lagi dengan baik saluran mikro dan makro, memperbanyak lubang biopori dan sumur resapan,” ungkapnya.

Tidak kalah penting, sambung Yayat, perlu early warning system yang lebih baik lagi dibandingkan saat banjir terjadi awal Januari 2020.

“BMKG kan sudah bisa memprediksi, biasanya puncak musim hujan terjadi awal tahun hingga Maret. Saya usul itu dijadikan Bulan Gerakan Siaga Bencana agar semua lebih waspada,” ucapnya.

Sementara Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Yusmada Faizal menambahkan, pada 1 Januari 2020 tinggi muka air (TMA) di Pintu Air Manggarai pada pukul 00.00 WIB masih 625 sentimeter. Kemudian, hanya dalam waktu lima jam meningkat menjadi 925 sentimeter.

“Ini pertama terjadi sejak 30 tahun saya bertugas di Pemprov DKI,” tuturnya.

Meski demikian, menurut Yusmada, penanganan banjir yang dilakukan jauh lebih baik dari sebelumnya. Banjir juga tidak sampai menggenangi kawasan Bundaran HI dan Istana. melalui infrastruktur yang ada saat ini, penanganan manajemen bencana banjir jauh lebih baik, air cepat surut dan jumlah pengungsi tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya dengan indikator curah hujan ekstrem.

“Kami juga melakukan penanganan banjir dan rehabilitasi pasca banjir dengan komprehensif. Sekarang menjadi fokus kita untuk melakukan evaluasi dan perbaikan, salah satunya kita akan meremajakan pompa-pompa air,” tandasnya. (hop)