Cakra Manggilingan

Oleh: Jaya Suprana

ILMUWAN filsafat Indonesia fokus Kejawen yang dipercaya menjadi ketua penyelenggara forum Philofest ID 2021, DR. Dika Sri Pandanari memberi kehormatan berupa sebuah kisah tanggapan terhadap buku tulisan sederhana saya yang berjudul PEDOMAN MENUJU TIDAK BAHAGIA.

Bagi saya yang sedang berikhtiar mempelajari filsafat Jawa, kisah tanggapan DR.Dika sangat berharga memperluas wawasan pandang sempit saya karena adiluhur bersuasana Cakra Manggilingan sebagai berikut:

“Saya ingat dulu ketika kakek saya menceritakan tentang pengalamannya di masa muda, mbah kung bilang hidup semua orang mirip cakra manggilingan. Menurutnya banyak orang termasuk mbah kung (di masa muda) merasa hidup harus diupayakan sedemikian rupa supaya selalu bahagia. Tapi selalu saja ada masalah, terduga maupun tidak. Dulu waktu masih muda katanya, ketika dapat masalah ya sedih. Sedihnya dua: karena sedang menghadapi masalah dan karena kehilangan kesempatan untuk bahagia. Tapi semenjak cucu-cucu sudah besar, sudah bisa punya cukup waktu untuk mengingat masa lalu dengan lebih matang, ternyata yang namanya hidup itu bisa bahagia dengan rasa syukur karena sudah dikasih kemampuan Tuhan untuk terus bertahan di saat bahagia dan tidak bahagia, dan karena sudah dikasih kemampuan untuk mengerti kalau bahagia itu ndak mungkin kalau ndak dibarengi dengan ketidakbahagiaan. Akhirnya, buat mbah kung yang namanya bahagia itu ndak seperti anak panah ditembakkan lalu berhenti tepat mengenai sasaran melainkan bisa merasakan hidup yang muter-muter, kadang di atas kadang di bawah seperti Cakra Manggilingan.“ (*)

* Pembelajar Kebudayaan dan Peradaban.