Cermin

Oleh: Al-Zastrouw

MELIHAT kondisi kebangsaan saat ini bagai berkaca di cermin retak. Keretakannya sangat berkeping, sehingga kita tidak bisa melihat wajah asli kita di cermin tersebut. Untungnya, serpihan itu belum ada yang lepas dari bingkainya. Semuanya masih tertaut dan berada dalam satu bingkai yang kokoh dan kuat; NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 45. Namun, kita tidak tahu sampai kapan bingkai itu bisa bertahan ketika saat ini banyak anak-anak bangsa ini yang mulai menggerogoti dan bahkan ada yang berupaya membongkar bingkai tersebut dan menggantinya dengan yang lain.

Tak hanya membongkar dan menggerogoti bingkai yang melindungi keutuhan cermin, mereka juga merusak dan menghancurkan “lembaraan kertas” perajut yang mempertautkan dan mepersatukan cermin agar tetap utuh, yaitu tata nilai dan tradisi lokal masyarakat Nusantara, seperti gotong royong, hidup rukun dan tenggang rasa dalam perbedaan.

Secara antropologis sosiologis tata nilai dan tradisi tersebut sudah berakar di negeri ini. Misalnya tradisi gotong royong ini sudah termaktub dalam beberapa prasasti (Talang Tuo 684 dan Sri Khulunan 824). Selain gotong royong nilai-nilai yang memiliki spirit kerukunan dan persaudaraan dalam keberagaman ini juga tercermin dalam berbagai istilah dan tradisi yang ada di kalangan masyarakat Nusantara lainnya, misalnya di Poso kita kenal istilah “sintuwu maroso“, di Merauke ada “izakod bekai izakod kei” di kalangan Batak Parmalim ada upacara “Pameleon Bolon Sipaha Lima”, di kalangan masyarakat Lamaholot, Nusa Tenggara Timur dikenal tradisi “gemohing“, dalam masyarakat Dayak Rindang Banua ada istilah “Alek Tau“, di  Bengkulu dikenal “ngacau gelamai”, tadisi “Pela Gandong” di Ambon dan beberapa daerah atau suku lain di Indonesia memiliki istilah dan tradisi yang memiliki nilia dan spirit membangun persaudaraan.

Fakta-fakta ini menjelaskan bahwa persaudaraan dan kerukunan merupakan laku hidup bangsa Nusantara. Karena nilai-nilai dan tradisi tersebut dijalankan di semua suku bangsa yang beragam ini, maka dia bisa menjadi tali perajut (common d’nominator) yang menyatukan berbagai serpihan bangsa yang beragam ini menjadi satu kesatuan Indonesia. Tradisi dengan berbagai nilai dan spirit persudaraan dan gotong royong yang hidup di masyarakat inilah yang ditangkap, direfleksikan, dan diambil oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa ini, kemudian dirumuskan menjadi Pancasila.

Sayangnya beberapa nilai dan tradisi itu sekarang tidak hanya ditinggalkan tapi juga dihancurkan. Dari sisi kanan penghancuran dilakukan kaum puritan agama yang menganggap tradisi mengotori kemurnian agama sehingga harus dihancurkan. Atas nama tugas suci membela agama dan menegakkan syariat sekelompok orang tega merusak seluruh tata nilai yang sudah baik dan bisa menimbulkan kebaikan. Dari sisi kiri, penghacuran tradisi dilakukan oleh kelompok modernis liberal yang menganggap tradisi penghambat kemajuan, tidak efisien, dekaden, membelenggu kebebasan. Dari atas, nilai-nilai dan tradisi digerus oleh kepentingan pragmatism politik para elite. Demi ambisi kekuasaan dan mempertahankan berbagai kepentungan politik mereka mengabaikan dan menghancurkan tata nilai yang menjadi penyangga dan perajut keberagaman.

Untuk menjaga cermin yang retak agar jangan sampai ambyar dan hancur, maka ada baiknya bangsa ini kembali menggali dan mengeksplor nilai-nilai dan tradisi baik bangsa ini untuk dijadikan sebagai sumber (sources) inspirasi dan kreativitas. Ini bukan berarti jumud dan setback. Sebaliknya, ini justru sikap kritis dan kreatif, karena dengan cara ini bangsa ini bisa keluar dari jebakan puritanisme dan fundamentalisme agama yang fasis, liberalisme modernitas yang liar dan perilaku para elite politik yang oligarg dan rakus.

Cara seperti ini sudah pernah dilakukan oleh para leluhur dan pendiri bangsa. Mereka menjadikan tradisi dan nilai-nilai lokal sebagai sumber dan referensi untuk diolah, diaktualisasi kemudian direkonstruksi sesuai dengan realitas dan tuntutan zaman. Mereka mengkaji secara kritis berbagai pemikiran dan tradisi, baik yang ada di Eropa dan Arab (Timur Tengah). Kemudian menggali nilai-nilai dan tradisi yang ada di Nusantara. Membandingkan keduanya secara kritis untuk menemukan yang terbaik. Inilah yang membuat para pendiri bangsa memiliki ketangguhan dan kemampuan merajut keberagaman kemudian membingkainya menjadi NKRI.

Di sinilah pentingnya bangsa ini mengenali dan menggali nilai dan tradisi yang dimiliki untuk menjaga keutuhan cermin yang sudah retak ini. Jika tidak demikian, bangsa ini hanya menjadi pemulung ide dan pengais sampah peradaban bangsa kemudian dengan lantang berteriak memploklamirkan diri sebagai pejuang demokrasi, pemegang hak paten kebenaran agama dan penguasa yang didukung rakyat. Mereka meneriakkan slogan mulia membela negara, padahal kelakuannya sedang menggali kubur untuk eksistensi bangsa dan negara. Sudah saatnya menghentikan perilaku mereka. (*)

* Dosen Pasca Sarjana Unusia, Penggiat seni tradisi dan budaya Nusantara