Jakarta

Kastara.ID, Jakarta — Berbagai upaya menjadikan Jakarta kota ramah bagi pesepeda dan pejalan kaki penuh dinamika dan tantangan. Paradigma bahwa wajah kota besar dan maju identik banyaknya jalan tol, dipenuhi beton atau gedung pencakar langit dan ramai dengan mobil masih begitu melekat. Padahal paradigma seperti ini usang dan sudah lama ditinggalkan kota-kota besar di dunia yang kini berlomba-lomba membangun jalur sepeda dan memperluas trotoar.

Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris mengungkapkan, saat ini kemajuan dan keadaban sebuah kota bukan dilihat dari banyaknya kendaraan pribadi yang melintas di jalanan kota tersebut. Namun, dilihat dari semaju dan semodern apa moda transportasi publik dan infrastruktur bagi pejalan kaki dan pesepeda di kota tersebut. Semua kota besar yang maju dan modern di berbagai belahan dunia, warganya tidak lagi mengandalkan kendaraan bermotor pribadi, tetapi menjadikan angkutan umum, sepeda dan berjalan kaki sebagai pilihan utama bermobilitas.

“Visi besar Jakarta sebagai kota ramah pesepeda dan pejalan kaki harus terus kita perjuangkan bersama. Kolaborasi harus kita kuatkan kembali untuk memastikan pembangunan, pelebaran dan revitalisasi trotoar dan jalur sepeda di Jakarta tetap jadi prioritas. Wajah Jakarta ke depan bukan masifnya pembangunan jalan raya atau jalan tol untuk kendaraan pribadi. Wajah Jakarta di masa depan adalah trotoar dan jalur sepeda. Program kerja saya yaitu Jakarta Ramah Pesepeda dan Pejalan Kaki adalah salah satu upaya kolaborasi untuk memastikannya,” ujar Fahira Idris di Jakarta (15/12).

Saat ini, menurut Fahira, banyak kota-kota besar di dunia sudah menikmati hasil perjuangan mereka selama puluhan tahun yang penuh tantangan dan penolakan karena memprioritaskan membangun jalur sepeda dan trotoar dibanding membangun jalan untuk mobil. Namun, karena konsistensi, keberpihakan dan kolaborasi warganya, kini sepeda sudah pilihan utama bermobilitas. Oleh warga kota-kota besar dunia, sepeda juga dijadikan  alat transportasi pelengkap menuju halte, terminal dan stasiun berbagai moda transportasi publik jika hendak menempuh perjalanan yang jauh.

Fahira mencontohkan Amsterdam yang pada 1970-an sempat menjadi kota kurang layak huni karena polusi udara akut, kemacetan, dan tingginya kecelakaan lalu lintas akibat masif penggunaan mobil yang kesemuanya itu menurunkan kualitas hidup warganya. Tapi sejak beberapa dekade lalu semua mimpi buruk itu berakhir. Pemerintah kotanya memilih untuk menjadikan sepeda sebagai transportasi utama walau harus berjuang puluhan tahun yang awal-awalnya mendapat penolakan karena dianggap program yang tidak berguna.

“Sekarang, sekitar 60 persen dari seluruh perjalanan di Amsterdam dilakukan dengan sepeda dan mereka sudah lepas dari persoalan pelik khas kota-kota besar yaitu kemacetan dan polusi udara seperti yang saat ini terjadi di Jakarta. Program Kerja Jakarta Ramah Pesepeda dan Pejalan Kaki ini untuk memastikan pembangunan jalur khusus sepeda, pelebaran dan revitalisasi trotoar dan sarana prasarana pendukung lainnya tetap menjadi prioritas Jakarta,” pungkas Caleg DPD RI Dapil DKI Jakarta Nomor Urut 9 ini. (dwi)