BMKG

Kastara.ID, Jakarta – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menuturkan, sistem peringatan dini tidak akan efektif jika hanya dilakukan satu lembaga saja.

Hal tersebut sesuai Perpres No 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS).

Menurut Dwi, sistem peringatan dini harus dioperasikan dengan kolaborasi yang holistik dan terintegrasi, dan secara menerus.

Selain itu, juga berkelanjutan, yang dilakukan oleh berbagai pihak/lembaga dari Pusat hingga ke Daerah.

“Sistem Peringatan Dini ini terdiri dari bagian Hulu dan bagian Hilir. Bagian Hulu dikoordinasikan oleh BMKG di Pusat,” ujar Dwi dalam siaran pers resminya, Senin (20/9/2021).

“Lalu fokus pada hal teknis untuk menangani monitoring dan processing data, analisis/modelling dan diseminasi informasi ke BNPB, TNI, Polri dan Media, serta terutama ke Pemerintah Daerah/BPBD,” urainya melanjutkan.

Sedangkan di bagian hilir, dikoordinasikan oleh BNPB dengan fokus meneruskan informasi BMKG yang sudah diterima BPBD atau Pusdalops.

Selanjutnya secara perlahan oleh BPBD disebarkan/diamplifikasi ke warga masyarakat yang terdampak di Hilir.

Berikutnya, dari fact finding di lapangan,  Dwikorita juga menyampaikan sejumlah kendala yang dihadapi dalam upaya memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami tersebut.

Antara lain jam operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten/Kota yang belum semua beroperasi 24 jam 7 hari.

Akibatnya, tak jarang pesan peringatan dini yang dikirim oleh BMKG pusat ke Pemerintah Daerah (BPBD) tidak tersebar luas secara massif ke masyarakat.

“Padahal, tidak jarang kejadian bencana alam diluar jam kerja kantor. Habis magrib, dini hari, atau saat akhir pekan,” bebernya.

“Jadi, idealnya memang BPBD beroperasi full selama 7 hari 24 jam, sesuai dengan amanah di dalam Perpres No 93 Tahun 2019, agar pesan peringatan dini dari BMKG tidak terputus di tengah jalan,” pungkasnya. (ant)