Kastara.id, Jakarta – Sejak awal sudah terbaca sinyal sangat kuat bahwa yang akan menang adalah opsi A yang menghendaki persyaratan presidential threshold 20 persen jumlah kursi di DPR RI dan 25 persen untuk suara nasional. Demikian disampaikan politisi senior Partai Golkar Zainal Bintang terkait pengesahan Undang-Undang Pemilu, Jumat (21/7).

Menurut Bintang yang juga wartawan senior, hal itu disebabkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI-2013 tidak membatalkan UU 42/2008. Sementara itu didalamnya tercantum ketentuan bahwa parpol atau gabungan parpol yang mengajukan capres/cawapres hendaknya berdasarkan hasil perolehan suara pada pemilu sebelumnya dengan ketentuan 20 persen jumlah kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara nasional.

Bunyi pasal tersebut menimbulkan tafsir bahwa pemilu yang ada sebelum Pemilu 2019 hanya Pemilu 2014. Maka otomatis yang dimaksud adalah Pemilu 2014. “Nah, inilah celah hukum yang multitafsir yang dipaksakan suara mayoritas parpol di dalam perdebatan RUU Pemilu yang bersidang sepanjang hari Kamis dari pagi sampai tengah malam,” ujar Bintang.

Bintang mengatakan, seandainya jika yang menang opsi B yang mendukung presidential threshold nol persen maka diperkirakan akan ada ancaman yang cukup besar. Misalnya yang terpilih adalah capres/cawapres dari parpol kecil, menjadi pertanyaan bagaimana nasib programnya di DPR kelak nanti saat dia berkuasa. “Pendapat saya ini sama sekali tidak dalam posisi atau tidak mendukung salah satu dari opsi tersebut,” ujarnya.

Namun, jika parpol pendukung opsi A yang berjuang memenangi suara dukungan di dalam sidang paripurna nampaknya yang akan diperkuat adalah sistem presidensil. Mengapa yang harus diperkuat adalah sistem presidensil, karena pengalaman tiga presiden melalui tiga kali pilpres yang lalu, yaitu pada tahun 2004, 2009, dan 2014 membuktikan bahwa meskipun presiden terpilih telah didukung parpol besar plus koalisi nyatanya program-program pemerintah tetap diganjal di parlemen.

Oleh karena itu, bercermin dari pengalaman terhadap tiga presiden tersebut, terlihat mau tidak mau hal itu memaksa pemerintah untuk merangkul parpol tambahan. Bahkan yang semula oposisi terpaksa diajak berkoalisi. “Celakanya, parpol yang tidak berkeringat itu ikut menikmati nikmatnya fasilitas pemerintah. Dan pada saat yang sama sering mbalelo,” kata Bintang.

Bintang menambahkan, menyimak alotnya persidangan RUU Pemilu yang menelan waktu sampai sembilan bulan harus tarik ulur, nampaknya dengan opsi A menunjukkan kuatnya tekad pemerintah dan parpol pendukung untuk membangun pondasi sistem presidensil yang kuat dan ajek. “Tujuannya tentu ke depan agar dapat diciptakan sebuah pemilu yang berkualitas dan menghasilkan pemerintahan yang juga berkualitas, tangguh dan mumpuni,” ujar Bintang. (npm)