Catatan Gantyo Koespradono

ADA 101 daerah yang pada 2017 menggelar pemilu  kepala daerah (pilkada). Namun, yang mendapat sorotan masyarakat Indonesia, bahkan dunia, hanya pilkada di DKI Jakarta. Yang 100 lagi, praktis terlupakan, padahal kasusnya tak kalah unik dan aneh dengan Jakarta.

Unik dan aneh, sebab para kontestan – juga partai pendukungnya — sama-sama ketakutan dan tidak fair mengikuti proses demokrasi. Mereka takut dan tidak siap bersaing, bahkan dengan lawan kotak kosong sekalipun. “Demokrasi ketakutan” betul-betul menghantui para calon kepala daerah.

Bahwa di Jakarta dalam hajatan pilkada ada demokrasi ketakutan tak bisa lagi ditutup-tutupi. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sang petahana dianggap mahkluk yang sangat menakutkan hanya lantaran dia calon yang memiliki triple minoritas (maaf: keturunan Tionghoa, Kristen dan bermulut ember pula).

Karena pobhia, pesaing Ahok pun menempuh cara-cara tak elok dan tak jantan namun bergaya preman, seperti mencegat Ahok di ujung jalan saat akan kampanye, memfitnah, menghina, hingga menuding sang petahana menistakan agama. Lagi-lagi karena takut dan ogah bersaing secara fair, agama dijadikan jaket pelindung. Celakanya, Ahok “tidak tahu diri” dan melayani itu semua karena ia berprinsip “apa yang lo jual, gua beli.”

Banyak pengamat  menilai Ahok melayani itu semua karena ia memang ingin menguji demokrasi dan mengeliminasi demokrasi ketakutan yang tengah melanda Indonesia. Ia ibarat sedang mengetes  berapa panas suhu air di dalam sebuah mangkok. Ia tahu air yang akan dites  masih mendidih, tapi telunjuknya dimasukkan juga ke dalam mangkok.

Dasar Ahok.  Ia memang kepanasan, tapi tak peduli bahwa di luar sana ada seorang bernama Bambang Winasis yang secara terang-terangan menyatakan akan menemaninya (jika Ahok dipenjara) dengan cara “menistakan” agama persis seperti apa yang dilakukan Ahok saat berpidato di Kepulauan Seribu. Ahok rupanya telah siap bahwa sampai kapan pun ia akan diperlakukan tidak adil.

Soal pilkada di DKI sudahlah kita tunggu saja seperti apa episode berikutnya? Apa gerangan yang akan terjadi? Tak seorang pun yang bisa menebak. Semua pihak, baik pihak-pihak yang bermain-main dengan uang dan sentimen agama, maupun kubu Ahok sama-sama optimistis bisa memenangi pertarungan.

Yang pasti di luar DKI, ada calon kepala daerah yang bakal bertarung dengan kotak kosong di enam daerah pada Pilkada 2017. Keenam daerah tersebut: Kabupaten Buton, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Pati, Kabupaten Landak dan Kabupaten Tambrauw.

Itu terjadi juga bentuk dari ketakutan: takut kalah dan takut bersaing. Karena tidak ingin punya pesaing, ada calon bupati yang kasak-kusuk melobi partai supaya berkoalisi “memborong” dirinya.

Di Kabupaten Pati misalnya. Calon yang maju dalam pilkada hanya ada satu, yakni pasangan Haryanto-Saiful Arifin. Konsekuensinya, pasangan ini dalam pilkada 15 Februari 2017 akan berhadapan dengan kotak kosong. Baguslah kotak kosongnya tidak diganti dengan monyet.

Haryanto-Saiful mau tidak mau harus berhadapan dengan monyet (eh, maaf kotak kosong) lantaran dia sukses melobi delapan partai, yaitu  PDIP, Gerindra, PKB, Demokrat, Golkar, Hanura, PKS dan PPP (total 46 kursi). Tidak jelas mengapa Partai NasDem tidak ikut-ikutan mendukung Haryanto.

Namun, tersiar kabar, Haryanto-Saiful pun takut berdemokrasi dengan kotak kosong, sebab ada sementara kalangan di Pati yang membangun “koalisi” untuk mendukung kotak kosong. Jika kelak kotak kosong yang menang, maka ini jelas “warning” bagi Haryanto-Saiful yang meskipun telah berjibaku merayu delapan parpol, ternyata takhluk oleh kotak kosong. Jika fakta ini yang terjadi, maka inilah peristiwa politik paling unik di Indonesia mungkin dunia: kotak kosong (barang) sukses mengalahkan manusia yang mimpi merindukan jabatan.

Demokrasi ketakutan dan berujung menghalalkan segala cara juga dilakukan para calon kepala daerah di tempat lain.

Menarik apa yang terjadi di Kabupaten Jepara. Pilkada di kabupaten ini diikuti dua  pasangan calon, yakni pasangan Ahmad Marzuqi-Dian Kristiandi yang diusung PDI Perjuangan, dan pasangan Subroto-Nuryahman yang diusung koalisi besar yang terdiri dari Partai Golkar, Partai NasDem, PPP, PKB, Partai Gerindra, Partai Hanura, PAN, PKS, dan Partai Demokrat.

Marzuqi adalah petahana, sedangkan Subroro juga petahana wakil bupati. Konkretnya di Kabupaten Jepara, atasan bertarung melawan bawahan. Subroto berani maju karena mendapat dukungan dari banyak partai dan merasa dialah yang selama ini bekerja untuk rakyat Jepara.

Marzuqi tidak bekerja? Ah, tega sekali yang menuduh seperti itu. Informasi yang berkembang menyebutkan Marzuqi selama menjadi bupati lebih banyak bersilaturahmi ke umat dan berceramah di masjid-masjid. Maklumlah ia seorang kiai dan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lho, PPP kok malah mendukung Subroto? Ya, itulah keunikan demokrasi ketakutan dalam pilkada. Takut tidak lagi menjadi bupati, Marzuqi mengikhlaskan (baca: menghalalkan cara) dicalonkan atau mencalonkan diri lewat PDIP yang jelas berbeda “ideologi” dengan partainya, PPP.

PPP tidak sakit hati kader dan tokohnya berpindah ke lain hati? Maaf, Bung, ini pilkada? Kepentingan jauh lebih bermakna daripada “sakit hati”.

Berandai-andai, kelak jika Marzuqi terpilih lagi menjadi bupati Jepara, toh PPP bisa merapat kembali ke Marzuqi atau sebaliknya Marzuqi memaafkan PPP yang telah berkongsi ke musuh-musuhnya di pilkada. Di mana ada jabatan di situlah hati tertambat. Islah, gitu loh.[]