Tri Rismaharini

Kastara.ID, Jakarta – DPR dan Pemerintah akan membahas RUU tentang Pemilu. Salah satu yang krusial dalam RUU itu berkaitan dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Dalam RUU tentang Pemilu disebutkan, ambang batas parlemen 5 persen dan ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Demikian diungkapkan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta, M Jamiluddin Ritonga, kepada redaksi Kastara.ID, Jumat (22/1).

“Kalau usulan ambang batas tersebut disetujui oleh DPR, tentu hal itu hanya menguntungkan partai besar. Partai besar akan semakin mapan menghuni Senayan. Mereka ini akan terus mempertahankan status quo,” tandas pria yang kerap disapa Jamil ini.

Karena itu, jelas Jamil, partai besar akan terus berupaya meningkatkan ambang batas parlemen dari pemilu ke pemilu. Dengan cara demikian, partai menengah dan partai gurem tinggal menunggu waktu terpental dan Senayan.

“Kalau hal itu terjadi, heterogenitas rakyat Indonesia akan semakin tidak tercermin di Senayan. Prinsip kebhinekaan terus tergerus dari pemilu ke pemilu dan tidak menutup kemungkinan pada suatu saat akan hilang dari Senayan,” wanti Jamil.

Menurut Jamil, tentu anak negeri yang cinta demokrasi tidak akan menghendaki hal itu terjadi. Karena itu, harus diupayakan partai menengah dan gurem agar tetap eksis di Senayan.

“Untuk itu, ambang batas parlemen perlu dikembalikan menjadi 2,5 persen, seperti yang berlaku pada pileg 2009. Kalau ini dapat disepakati, selain tidak banyak suara yang terbuang, juga akan semakin banyak partai yang masuk ke Senayan,” ungkap pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Semua partai yang masuk Senayan, lanjutnya, idealnya diberi hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Jadi, kalau ada 10 partai yang masuk Senayan, maka akan ada 10 pasang calon presiden dan wakil presiden yang wajib diajukan pada pilpres.

“Kalau hal itu dapat diwujudkan, maka tidak diperlukan lagi ambang batas pencalonan presiden. Setiap partai yang lolos ke Senayan otomatis wajib mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ungkap penulis buku Riset Kehumasan ini.

Dengan begitu, partai menengah dan gurem punya hak yang sama dengan partai besar dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kalau itu dapat diwujudkan, rakyat akan mendapat banyak suguhan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih. Variasi pemilih akan tercermin pada variasi calon yang akan dipilih.

“Hal itu dapat juga menghindari polarisasi rakyat Indonesia kedalam dua kutub, sebagaimana terjadi pada pilpres 2014 dan 2019. Polarisasi seperti ini kalau terus dibiarkan tentu akan mengancam NKRI. Tentu ini tidak dikehendaki oleh anak bangsa yang mencintai negeri ini,” tandas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999. (jie)