Nasionalisme

Oleh: Mohammad Sabri

PERNYATAAN bernas, patriotik, pradah dan tanpa hiruk pikuk dari Gubernur Jawa Tengah Mas Ganjar Pranowo–menyusul surat edaran Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya jam 10.00 pagi ini–bukan sekadar ikhtiar ‘melawan lupa’ tapi sebilah gema kesadaran “Nasionalisme Gelombang IV.”

Nasionalisme Gelombang I, bermula pada 20 Mei 1908, ketika protonasionalisme mulai mekar, meski lahir dari rahim etno-nasionalisme: Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen, Jong Ambon, Jong Borneo, Sekar Rukun dan Kerapatan Pemoeda Kaoem Betawi.

Gelombang Nasionalisme II terbit pada 28 Okrober 1928, ketika pemuda sebagai hulu ledak perubahan mendeklarasikan secara gagah berani apa yang dikenang sebagai “Soempah Pemoeda” yang tidak hanya mampu mengonsolidasikan etno-nasionalisme Nusantara, tapi sekaligus menemukan “kode kebangsaan“: Indonesia. Di sana, lagu kebangsaan Indonesia Raya, gubahan WR Soepratman, menggema di langit nusantara, menyusul sumpah sakti pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan: INDONESIA.

Mengapa lagu kebangsaan Indonesia Raya menjadi “pintu bersama” membuka ruang sadar kebangsaan kita?

Jika menyimak spiritus yang dikandungnya, terutama yang tertuang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya tiga stanza, gubahan genial WR Soepratman, tampak larik dan eksposisi puitika nasionalisme yang power full.

Terdapat “tiga seruan” moral kebangsaan yang memggenang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya tiga stanza.

Pertama, pada stanza I: “Marilah kita berseru/Indonesia bersatu.” seruan moral ini mengandaikan jika kemerdekaan, sebagai “jembatan emas” dalam pendakuan Sukarno, hanya bisa diraih dengan persatuan dari kepelbagaian yang ada. Jejak perjuangan tokoh dan kerajaan nusantara, sangat mudah dipatahkan kolonialisme Belanda karena tak adanya persatuan, amat terang dalam kilatan nalar budi pejuang kemerdekaan kita.

Kedua, pada stanza II: “Marilah kita mendoa/Indonesia bahagia.” pada larik ini ada dua pesan moral yang bergema: bahwa kebahagiaan untuk seluruh bangsa Indonesia, bukan sesuatu yang musti diperjuangkan bersama tapi juga membangun keinsyafan akan keniscayaan kehadiran Tuhan, yang Numinous dalam setiap napas kita.

Sementara yang ketiga, terpatri pada stanza III: “Marilah kita berjanji/Indonesia Abadi“, memgandaikan jika kehadiran Indonesia Raya yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, bukan untuk kepentingan sesaat dan segelintir kelompok tertentu, tapi untuk selamanya seiring dengan nafas sejarah.

Nasionalisme Gelombang III dikonsolidasikan para aktivis pergerakan dan pejuang kemerdekaan yang meledak pada 17 Agustus 1945, dan diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta–atas nama bangsa Indonesia–kepada dunia perihal Kemerdekaan Indonesia.

Di tengah badai globalisasi yang gemuruh, ancaman ideologi transnasional, meroketnya grafik intoleransi, mekarnya ekslusi sosial-ekonomi-politik, meletupnya aksi kekerasan dan radikalisme yang “mengatasnamakan” agama dan etnik, lemahnya denyut ekonomi nasional menyusul ujian pandemi covid-19 yang telah bergulir lebih setahun, masih menggemanya ancaman konflik sosial yang dipantik oleh SARA, kesenjangan sosial-ekonomi, dan seterusnya menjadi rangkaian anasir yang berpotensi meretakkan “perahu kebangsaan” kita.

Menimbang dengan permenungan mendalam, kilatan akal budi dan detak relung hati yang cerah, apa yang diserukan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Gubernur Jawa Tengah Mas Ganjar Pranowo patut disambut sebagai spiritus Nasionalisme Gelombang IV untuk satu tujuan luhur: mengonsolidasi kepelbagaian, merawat keanekaan, dan kian mengukuhkan Pancasila sebagai “Bintang penuntun” (leitstar) perjalanan perahu kebangsaan untuk meraih telos atau cita-cita nasional: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).