Penanaman Modal Asing

Oleh: Nehru Asyikin

Dilihat dari sejarah Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia, bisa kita lihat dari alur Undang-undang Penanaman Modal yang cukup panjang, dimulai dari pada masa Orde Baru diterbitkannya UU No. 1 Tahun 1967, Pasca Reformasi hingga saat ini telah disempurnakan lewat PP No. 20 Tahun 1994 dan UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007.

Pada masa Orde Baru, untuk pertama kalinya pada 7 April 1967 pemerintah menerima Penanaman Modal Asing yang ditandai dengan ditandatanganinya Kontrak Karya I selama 30 tahun. Dan hingga saat ini Indonesia masih terbuka untuk penanam modal asing baik perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.

Indonesia sebagai negara berkembang tentu tidak bisa serta-merta memalingkan wajahnya pada Pemodal Asing. Sebab keuntungan yang didapat dari invenstasi asing itu paling tidak akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi negara dan dapat mencukupi kebutuhan negara terutama dalam menjalankan roda pemerintahan.

Agar dapat menjaga iklim kondusif yang dirasakan oleh si penanam modal di Indonesia, pada Pemilu 2019 mendatang, Capres dan Cawapres tentu tidak akan mengkampanyekan anti modal asing atau anti investor asing di Indonesia. Sebagaimana mengutip pernyataan Badan Pemenangan Nasional dari Capres Prabowo dan Sandiaga saat melakukan konferensi pers dengan media asing “Prabowo tidak melarang investor asing menanamkan modal di Indonesa, bawah Prabowo dan Sandiaga tidak anti asing”. Sedangkan Capres Jokowi pun sudah terlihat bahwa sebagai petahana. ia pun tidak anti terhadap penanam modal asing.

Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan melalui penanaman modal asing demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Negara tetap harus memegang teguh amanat konstitusi yang dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat menyatakan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sejalan dengan amanat konstitusi di atas, sebagai aturan di bawah UUD 1945 Konsideran huruf d. UU Penanaman Modal Asing No 25 Tahun 2007 bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.

Kalimat “tetap memperhatikan kepentingan nasional” dapat dimaknai meskipun PMA dapat mempercepat perkembangan ekonomi nasional dan mencapai tujuan eonomi nasional. Namun perhatian lainnya setiap kebijakan khususnya di bidang ekonomi harus mengangkat harkat martabat masyarakat agar kesejahteraan yang dicita-citakan dapat dirasakan melalui Penanaman Modal Asing. Di antaranya menjalankan Pasal 10 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya dengan tenaga lokal (Indonesia), kecuali untuk tenaga-tenaga ahli yang belum diisi oleh tenaga lokal dapat didatangkan tenaga kerja asing, serta transnfer skill dan teknologi yang menjadi syarat mutlak bagi proses pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan.

Kemudian ada syarat yang tidak kalah penting adalah landasan hukum yang sangat dibutuhkan dalam mengawal proses pembangunan yang maksimal. Melihat di masa sekarang gempuran globalisasi tidak hanya merambah pada bidang ekonomi saja, tetapi pada perkembangan hukum.

Hukum dirasa tidak terlalu responsif mengikuti arus perkembangan globalisasi. Hal ini dapat dilihat meskipun Pemerintah terus mengikuti isu-isu yang berkembang di dunia Internasional seperti mengikuti forum GATT, WTO, AFTA, dan APEC, serta meratifikasi hasil dari forum tersebut agar Indonesia tidak ketinggalan dalam persaingan yang kompetitif. Hal itu mengakibatkan transpalatansi hukum dan penyesuaian hukum nasional mengalami kegagalan ketika diterapkan di Indonesia, karena perbedaan budaya, politik dan sosial masyarakat yang tidak sama dengan keadaan di Barat.

Menurut Mahfud MD, ia berpendapat bahwa suatu bangsa modern sekarang ini telah menempuh pembangunan melalui beberapa tahap, Pada tingkat unifikasi, politik hukumnya adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Artinya, unifikasi hukum tidak hanya menyatukan hukum nasional dan memberlakukannya kepada warga negara, tetapi harus juga disesuaikan dengan kondisi realita masyarakat dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga kepentingan-kepentingan itulah harus diutamakan agar berdampak pada hasil yang diharapkan.

Maka harus ada pembangunan hukum yang merambah pada pembangunan hukum yang berfokus pada pembaharuan hukum dan kebijakan (policy) Pemerintah. Maka Pemerintah harus mengendepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan asing, sehingga dalam penentuan kebijakan, pertama, hukum yang dibentuk berfungsi sebagai kontrol agar asing tidak mendominasi sumber daya alam yang menguntungkan asing. Kedua, hukum dijadikan sebagai berfungsi melindungi dan memperjuangkan ekonomi rakyat.

Oleh karena itu, Capres dan Cawapres 2019 nanti hendaknya tetap menjaga iklim investasi yang mendukung, terhadap kestabilan politik dan kondisi aman di wilayah NKRI. Dan tetap kritis terhadap penanaman modal asing terutama pada bagian transpalatansi hukum ke dalam hukum nasional agar jangan sampai hukum yang diratifikasi menyulitkan masyarakat dan melindungi kepentingan asing.  

Sebab dalam konteks kepentingan, hukum berperan sebagai pengawal agar keberadaannya bukan menjadi pasif sebatas ada pengaturan saja, tetapi harus ada kepastian hukum yang dalam impelemntasinya harus melindungi masyarakat Indonesia yang bekerja dalam sebuah perusahaan asing agar tidak timbul kerugian dari hak-hak masyarakat, maka peranan hukum dapat memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat serta sebagai alat untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi.

Dengan demikian, sebagai kepala pemerintah dan sekaligus sebagai kepala negara yang terpilih nanti, harus terus memegang teguh prinsip perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 Ayat (2) bahwa bumi dan air kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (*)

(*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum UII, Yogyakarta.