Halal

Oleh: Mastuki HS

ENTAH masih menyalakah obor proyek integrasi ilmu yang dinyalakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) ataukah sedang meredup. Bertahun-tahun sejak gagasan mendirikan UIN sebagai proyek mercusuar “bangkitnya peradaban emas Islam” (the golden age of islamic civilization) dari dan di Indonesia dikumandangkan para perumusnya, bertahun-tahun juga energi yang didedikasikan penerusnya untuk merealisasikan universitas kebanggaan umat Islam Indonesia. Diawali dari transformasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan STAIN Malang menjadi UIN pada awal 2000-an, saat ini sudah ada 17 UIN berdiri di seluruh Indonesia. Jumlah yang tak sedikit, sebanding dengan pertumbuhan dan perkembangan internal perguruan tinggi Islam ini dalam berbagai lini: institusi, akademik, penelitian, pembangunan gedung dan sarana-prasarana kampus, meningkatnya jumlah mahasiswa, jumlah dan kualitas dosen, hingga besarnya animo masyarakat muslim mengkuliahkan anaknya di PTKIN.

Pengalaman penulis ‘mengawal’ transformasi IAIN ke UIN sejak 2010-2016 melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, isu integrasi ilmu (agama dan umum) selalu menjadi common platform dan ruh yang mendasari alasan perubahan kelembagaan IAIN. Tak ada yang salah dari proposal ini. Apalagi tim-kerja IAIN yang akan berubah menjadi UIN menyiapkan rasionalisasinya pada semua level: filosofis, akademis, sosiologis, politis, ekonomis, bahkan ideologis. Justifikasi rasional untuk mengusung proyek integrasi ilmu pun melahirkan berbagai varian jargon seperti pohon ilmu, integrasi-interkoneksi jaring laba-laba, wahyu memandu ilmu, twin-tower, bahtera ilmu, an-nahl (rumah laba-laba), dan semisalnya. Meski pada usulan pembukaan fakultas, program studi, level penyusunan kurikulum, dan implementasinya pada pembelajaran masih perlu dipertanyakan: sejauhmana integrasi ilmu itu menjadi pemandu dan obor yang menerangi kerja-kerja akademik, penataan kampus, proses pembelajaran, dan spirit yang hidup di kalangan civitas akademika atau menjadi academic living.

Tanpa pretensi serba-tahu, penulis menerima wawancara beberapa dosen UIN yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya dan menulis disertasinya tentang progress dan impact transformasi kelembagaan UIN secara real time dan idealnya. Temuan sementara, proyek integrasi ilmu itu ‘tak seindah aslinya’ dalam kenyataannya. Ada banyak aral melintang, ada sejumlah ketidak-istiqomah-an, muncul bias di sana-sini, bahkan ditemukan paradoksal. Dinding-dinding birokrasi yang tebal dan sulit ditembus, ditambah dengan budaya kampus yang less-compatible dengan dinamika eksternal menyulitkan action dan execution di lapangan. Tapi bukan berarti tak ada trial and error yang dilakukan, separsial apapun. Paragraf ini hendak menegaskan bahwa das sein dan das sollen tak selalu dalam garis paralel.

Beyond Integration
Sejak semula berniat mentransformasi IAIN ke UIN, terutama pada UIN yang lahir setelah tahun 2012 (saya menyebut: UIN versi 2.0 dan versi 3.0), bayang-bayang historis untuk mengusung proyek integrasi ilmu masih kuat. Bahwa IAIN yang selama ini menyandang lembaga pendidikan tinggi keagamaan Islam dengan lingkup kajian keilmuan ‘konvensional’ harus melungsungi menjadi lembaga yang mengemban amanah baru: universum keilmuan yang tak terkotak-kotak: ini ilmu agama dan itu ilmu umum (sekuler). Secara historis UIN-pioneer (Jakarta, Yogya, Malang, kemudian Makassar dan Bandung) menjadi lesson learned dan alas pijak mengapa UIN yang lahir belakangan harus juga mengusung integrasi ilmu. Namun yang kurang mendapat perhatian bahwa gagasan integrasi ilmu yang secara filosofis telah dirumuskan dengan sangat baik oleh Prof. Amin Abdullah (tanpa menafikan peran tokoh lain), pada UIN versi 2.0 apalagi versi 3.0 mestinya sudah tidak lagi mengulang hal yang sama, pada tataran ‘langit’, namun sudah harus diturunkan pada tataran institusional dan desain operasional. Singkat kata: beyond integration.

Mengaca pada praktik pembelajaran dan kurikulum prodi atau mata kuliah di fakultas-fakultas agama sekalipun, integrasi ilmu dalam pengertian elementer sejatinya sudah diterapkan. Sejak lama mata kuliah ilmu syariah berkaitan dengan ilmu hukum. Pedagogik dan psikologi diajarkan kepada mahasiswa saat mereka belajar ilmu tarbiyah. Sosiologi dan ilmu komunikasi berbarengan dengan ilmu dakwah. Ilmu tafsir diperkaya dengan hermeneutika dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Mata kuliah politik Islam atau psikologi Islam dan ekonomi Islam adalah bentuk lain dari model integrasi ilmu.

Pada tahap ini sejatinya integrasi ilmu sudah dipraktikkan sejak lama di IAIN bahkan STAIN. Ketika UIN generasi 1.0 berdiri, pembentukan fakultas-fakultas baru memperkuat kecenderungan di atas, dengan menggabungkan ilmu agama dan umum: fakultas adab dan humaniora, tarbiyah dan pendidikan, syariah dan hukum, dakwah dan komunikasi, ekonomi dan bisnis Islam. Memang agak sedikit ‘menyempal’ tatkala secara terpisah ada fakultas sains teknologi, FISIP, psikologi, dan kedokteran. Meski dalam implementasinya, diperkenalkan pendekatan integratif dan meng-insert nilai/ajaran Islam ke dalam ilmu atau mata kuliah. Sisi lain, fakultas ushuluddin atau dirasat islamiyah dipertahankan eksklusifitasnya.

UIN Gen 1.0 sebagai produk historis dan “anak zamannya” sangat kita apresiasi. Dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, pendirian UIN adalah lompatan kuantum. Itu sesuatu banget, kata Syahrini. Mencipta momentum. Monumental. Typical. Historical heritage.  Diawali mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam) jelang proklamasi tahun 1945, lalu ada inisiatif Pesantren Luhur, UII (Universitas Islam Indonesia), kemudian bertransformasi menjadi IAIN tahun 1960. Beberapa dasawarsa kemudian muncul STAIN, lalu lahir UIN. Bagi saya itu semua adalah puncak-puncak ijtihad. Dan masih dalam satu garis kontinum, sekarang jabang bayi UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia) telah lahir di Depok, Jawa Barat.

Bernostalgia dan ber-romantika dengan UIN yang sudah eksis, it’s no problem. Yang diperlukan berikutnya adalah berijtihad kembali, membuat tonggak sejarah (making history)  pendidikan tinggi Islam yang sesuai tantangan zaman: katakanlah UIN-Gen 4.0. Selain menyahuti revolusi industri 4.0 yang membawa disrupsi berbagai aspek, UIN-Gen 4.0 menawarkan perombakan fundamental atas semua aspek penyelenggaraan kampus dan akademik. Manajemen yang lincah; kepemimpinan yang bermain-ombak-tak-takut-gelombang [jangan-jangan Menristek Prof. Nasir gregetan kok banyak kampus gak move-on. Makanya usul rektor dari luar negeri, hehe..]; dosen yang fresh –selain bicara kualifikasi; sarpras berciri modern, komprehensif, terbuka, multibudaya, dan humanis; serta mencakup disiplin ilmu yang luas.

Bertumpu dari Tusi Kemenag: Lebih Dari Cukup
Kembali pada integrasi ilmu yang diimajinasikan para pendahulu UIN, peluang terbuka sejak semula justru dari tusi yang diemban Kementerian Agama sebagai induk PTKIN. Saat ini ada empat eselon I yang langsung terkait dengan kajian ilmu keislaman multi-disipliner, dan seharusnya menjadi concern STAIN/IAIN/UIN, yakni: Ditjen Pendidikan Islam, Ditjen Bimas Islam, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Jika boleh jujur, beranjak dari tusi Kemenag ini saja beyond integration yang mustinya menjadi ladang garap UIN sudah terang benderang dan lebih dari cukup. Mari kita ulas serba singkat.

Bidang tugas Ditjen Pendis punya urusan soal mengembangkan madrasah dengan segala pernak-perniknya; pesantren dengan segala keunikannya; diniyah dengan kekhasanya; PAI dengan seabrek masalahnya; apalagi diktis/PTKI dengan peluang-tantangannya. Bicara soal madrasah hare gene tak bisa didekati dengan satu-dua ilmu keislaman. Kurikulum pembelajaran madrasah saja sudah mencerminkan keharusan integrasi ilmu. Ada akidah, fikih, tafsir, hadits, tarikh, bahasa Arab, IPS, IPA, matematika, geografi, sosiologi, dan ekonomi. Pengembangan madrasah pun melibatkan disiplin ilmu yang banyak: pendidikan, sosiologi, akuntansi, manajemen, fisika, kimia, teknologi, komputer, dan sebagainya. Tak bisa terkotak-kotak. Belum lagi pesantren yang menjelma menjadi institusi par excellence. Urusan manajemen, dakwah, pengajian tafsir/fiqh/tasawuf, pengajaran agama tumplek blek dengan penanganan bisnis, koperasi, ekonomi, ditambah urusan politik, seni, budaya, sosial, hingga penerapan teknologi. Bagaimana pesantren dan PAI menghadapi soal terorisme, radikalisme, pertarungan ideologi, fragmentasi umat, new colonization in culture, dan seterusnya. Sudahkah UIN menjadikan tusi Ditjen Pendis ini bagian dari desain pengembangan bidang ilmu?

Struktur Bimas Islam tak kalah progresifnya. Ada direktorat pemberdayaan zakat dan wakaf, penerangan, pembinaan syariah, bina KUA dan keluarga sakinah. Urusan zakat, wakaf, masjid, dan hisab-rukyat sebagai contoh, berapa banyak ilmu umum dan ilmu agama terintegrasi disini tanpa harus membeda-bedakan ini wilayah ilmu A, itu wilayah ilmu B. Sekali lagi, dalam kenyataannya ilmu itu tak terkotak-kotak untuk satu urusan agama sekalipun. Mengurus masjid saja butuh ilmu arsitektur, seni, teknik, ekonomi, sosiologi, dakwah, syariah, dan seterusnya. Hisab-rukyat bukan saja soal falak, fikih, tapi juga astronomi, matematika, dan teknologi. Penerangan Islam tak cuman komunikasi, tapi marketing, broadcasting, teknologi, manajemen SDM, peta dakwah berbasis komputer, branding, dan sebagainya.

Kalau Ditjen Pendis dan Bimas Islam relatif terwadahi, meski minor, dalam berbagai mata kuliah, prodi, dan/atau fakultas di PTKIN. Tidak demikian dengan Ditjen PHU. Urusan haji dan umrah masih sangat parsial diakomodir dalam kajian-kajian keilmuan dan institusional PTKIN. Padahal bidang kajian ini, kalau mau di-search and research, sangat kaya dan menantang. Penyelenggaraan haji dan umrah meliputi banyak bidang garapan: fiqh (bimbingan ibadah, manasik), tafsir, hadits, aviasi (penerbangan) yang bisa meliputi aeronotika, komunikasi penerbangan, teknik penerbangan, dan lain-lain; manajemen tata kelola, pelayanan dan perlindungan jemaah, keuangan, kesehatan, boga/katering, perhotelan, jasa perhubungan, imigrasi, hubungan luar negeri, hubungan internasional, sampai religious tourism. Singkatnya berbagai ilmu menyatu dalam pengelolaan dan penyelenggaraan haji dan umrah. Maka kalau ada UIN yang mendirikan “Fakultas Haji dan Umrah” atau “Fakultas Haji dan Hubungan Internasional Dunia Islam”, tidak relevan lagi bicara integrasi ilmu karena di dalamnya berbagai ilmu bisa dipelajari oleh mahasiswa secara integratif. Tidak fakultatif. Pembukaan jurusan atau prodi bisa dirancang dalam skema integratif dimaksud.

Sampai titik ini istilah beyond integration, dalam arti keluar dari bayang-bayang keharusan mengikuti pola UIN generasi 1.0 atau 2.0 menemukan titik pijak yang kuat. Bahwa pengembangan ilmu dan penataan kelembagaan di UIN dapat dimulai dari “dalam” sendiri, dengan menguliti business process dan main mandate Kementerian Agama. Tiap UIN bebas menentukan dan mengembangkan ilmu dan keilmuan mana yang akan menjadi distingsinya. Tak semua UIN harus membuka fakultas atau prodi yang sama seperti selama ini terjadi. Latah. Keluasan mandat Kemenag yang terepresentasi melalui unit eselon I memberi seribu kemungkinan untuk PTKIN mengambil peran yang mana sesuai keperluan. Apatah lagi, PP tentang pendidikan tinggi keagamaan sudah ditandatangani Presiden tanggal 3 Juli 2019.

Isu Halal Sebagai Proyek Integrasi Ilmu
Sejak dua tahun lalu, Kemenag memiliki unit baru: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan produk halal (JPH) sebagai amar UU nomor 33 tahun 2014, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama RI. Sebagai anak kandung Kemenag RI, BPJPH melanjutkan estafet perjuangan halal yang kurang lebih 30 tahun dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obatan-Obatan dan Kosmetika.

Kehadiran BPJPH merupakan era baru penyelenggaraan halal di Indonesia. Ditinjau dari sisi syariat Islam, mengkonsumsi dan menggunakan barang halal bagi seorang muslim adalah imperasi agama. Al-Quran menyebut 4 ayat tentang perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (halalan thayyiban). Sekian hadits bicara soal pentingnya konsumsi halal yang berimplikasi pada pembentukan karakter muslim. Namun lebih dari itu, persoalan halal, dalam perspektif ushuliyah merupakan kebutuhan dasar manusia untuk menjaga kelangsungan hidup (ad-dharuriyat al-khamsah: hifd al-nafs, hifd al-nasl). Artinya, landasan nash mengenai halal ini tak perlu lagi diperdebatkan.

Namun demikian, apakah cantolan hukum ini berhenti disitu? Tidak. Signifikansi halal menemukan pijakan kuat pada konstitusi Indonesia, yakni UUD RI 1945, terutama pasal 29 ayat 2 yang mengamanatkan “negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Untuk menjamin itu, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Atas amar inilah, kemudian lahir UU nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan tujuan penyelenggaraan JPH adalah : 1) memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan 2) meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Pada titik ini peran BPJPH sangat krusial: soal halal produk. Bukan saja karena soal halal ini ranah agama atau syariat. Tapi dalam melaksanakan jaminan produk halal, BPJPH tak bisa sendiri. Ia harus melibatkan banyak kementerian, lembaga, institusi dalam dan luar negeri. Kenapa? Karena halal adalah mata rantai dari hulu ke hilir. Halal-value chain. Untuk menetapkan kehalalan produk perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (dalam hal ini MUI), lembaga pemeriksa dan pengujian produk (selama ini dikawal oleh LPPOM-MUI), pengawas produk (BPOM), peredaran barang/produk dari dalam dan luar negeri (Kementerian perindustrian, perdagangan, bea cukai), hubungan luar negeri (terkait kerjasama internasional dengan lembaga halal negeri, Halal Body. Belum lagi pelaku usaha yang terdiri atas perusahaan besar, menengah, kecil dan mikro di bawah kordinasi dan pembinaan kementerian/lembaga lain.

Bidang tugas BPJPH dan jaminan produk halal seperti dijelaskan di atas, amat relevan dengan UIN yang memegang mandat pengembangan ilmu-ilmu keislaman dalam kerangka integrasi dan universalitas Islam. Karena bicara jaminan produk halal, sejumlah disiplin ilmu terlibat dalam proses penetapan kehalalan produk. Meski penetapan kehalalan suatu produk memang identik dengan istilah fiqh/syariat atau ushul fiqh, yang dalam pelaksanaannya merupakan kewenangan dan otoritas ulama’ (dalam hal ini: MUI). Namun sebelum dinyatakan halal, proses pemeriksaan dan pengujian produk (diperankan oleh Lembaga Pemeriksa Halal/ LPH), melibatkan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki auditor halal seperti kimia, farmasi, biologi, peternakan, pertanian, pangan, biokimia, teknik industri, dan lain-lain.

UU nomor 33 tahun 2014 (UU JPH) dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 31 tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal tegas menyebut bahwa “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. UU dan PP juga memberikan mandat kepada BPJPH untuk melakukan sertifikasi halal terhadap seluruh produk berupa barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Luasnya cakupan makna “produk” dalam UU JPH memberi sign positif adanya korelasi yang tak-terpisahkan antara ilmu agama (aspek syariat) dan ilmu-ilmu ‘umum’. Masyarakat untuk tahu apakah produk yang dikonsumsi itu benar-benar halal (makanan, minuman, obat atau kosmetik) ditentukan pada dua hal: 1) proses produksi yang terjamin benar dan sesuai dengan sistem jaminan halal, SJH (aspek thayyib), dan 2) penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa MUI (aspek syariat atau halalan). Disini ketemu dua ranah: sains dan syariat. Ilmu dan agama. Saintis/ilmuwan dan ulama.

Bagi UIN yang memadukan ilmu agama dan umum, halal dapat dijadikan sebagai proyek integrasi ilmu yang benar-benar terpadu dan typically compatible. Pertama, UIN berpartisipasi dalam JPH dengan mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Sebagai lembaga yang berfungsi melakukan pemeriksaan dan pengujian produk, LPH wajib memiliki auditor halal yang selain memiliki kualifikasi di bidang sains, pangan, pertanian, peternakan, teknik, farmasi dan sebagainya, juga memahami wawasan kesyariahan (fiqh). Para auditor halal ini wajib mengikuti diklat dan uji kompetensi yang dilaksanakan MUI. LPH sebagai homebase auditor halal sangat mungkin didirikan UIN karena sumberdaya manusia bisa disediakan relatif mudah oleh kampus. Ada fakultas dan prodi yang relevan mendukung kebutuhan tersebut.

Kedua, mendirikan pusat kajian halal atau halal center yang concern pada penelitian atau pengkajian soal halal. Banyak isu dan tema tentang halal yang dapat dikembangkan UIN bekerjasama dengan instansi/lembaga dalam dan luar negeri yang memiliki kepedulian sama terhadap halal issues. Halal center juga dapat menjadi rumah bagi penyelia halal, yang dalam regulasi didefinisikan sebagai “orang yang bertanggung jawab terhadap proses produk halal (PPH)”. Lagi-lagi resources yang dimiliki UIN memungkinkan menjadikan pusat kajian halal dapat berkembang baik.

Ketiga, agar halal menjadi kajian yang terstruktur-sistematis, ada baiknya dilembagakan dalam program studi, jurusan, atau fakultas. Sudah saatnya UIN menginisiasi pembentukan fakultas halal yang merangkum seluruh kajian dan disiplin ilmu dalam proses jaminan produk halal secara terintegrasi. Secara implementatif, fakultas halal akan menjadi distingsi UIN dan dapat menjadi core business yang membedakan dengan perguruan tinggi umum lainnya. Pembidangan ilmu tak lagi menjadi masalah karena di fakultas ini semua cabang ilmu yang mendukung jaminan produk halal diajarkan secara komprehensif dan integratif. Ilustrasinya, mahasiswa yang belajar di fakultas ini mengetahui dan memahami proses produk halal yang mengharuskan faham beberapa ilmu pendukung: ia harus faham syariat kehalalan produk, ia juga mengetahui cara kerja produk halal di perusahaan atau pelaku usaha, dan menerapkan sistem jaminan mutu halal (SJMH) yang berlaku secara nasional dan internasional. Dengan begitu lulusan fakultas ini ready for use untuk masuk ke dalam industri halal yang dewasa ini bukan saja kebutuhan di Indonesia, namun juga kesadaran global (global halal awareness).

Optimisme membangun suprastruktur halal di perguruan tinggi bukan tanpa reasoning. Pertama, perguruan tinggi (termasuk UIN) memiliki resources yang dapat diandalkan dan jangkanya panjang. SDM, dana, ilmu, penelitian, jejaring kerjasama, laboratorium, dan teknologi. Kedua, seiring berkembangnya tren world halal lifestyle, sektor industri halal kini telah berkembang pesat meliputi 6 (enam) sektor utama: makanan dan minuman (halal food), pakaian (modest fashion), keuangan Islam (islamic finance), wisata halal (halal travel), media dan hiburan (media and recreation), dan farmasi serta kosmetik (pharmaceuticals and cosmetics). Saat ini, perkembangan industri halal tidak hanya sebatas produk halal, tapi sudah merambah ke gaya hidup halal (State of the Global Islamic Economy, 2018).

Indonesia dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia merupakan ceruk pasar halal yang sangat besar, potensial dan challenging. Jumlah penduduk beragama Islam mencapai 209,1 juta jiwa atau 87,2 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut merupakan 13,1% dari seluruh umat Muslim di dunia. Secara global, total penduduk Muslim dunia akan meningkat dari 1,6 milyar jiwa pada tahun 2010 menjadi 2,2 milyar jiwa pada tahun 2030. Dampak dari kondisi ini, permintaan akan produk dan jasa halal dipastikan akan terus meningkat. Permintaan akan produk halal tidak hanya datang dari kalangan Muslim, tetapi juga kalangan non-muslim. Hal ini dapat disebabkan karena meningkatnya preferensi masyarakat non-muslim untuk menggunakan produk dan jasa berlabel halal yang dipercaya baik, higienis, dan aman.

Sektor makanan dan minuman halal (halal food) atau kuliner merupakan sektor potensial dan terbesar di Indonesia. Pada tahun 2017, belanja produk makanan dan minuman halal Indonesia mencapai 170,2 miliar dolar AS. Sektor ini berkontribusi sekitar 3,3 miliar dolar AS dari ekspor Indonesia ke negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Selama tahun 2018, perdagangan produk halal global telah mencapai 2,8 triliun dolar AS yang mayoritas sebesar 1,4 triliun bergulir di industri makanan minuman.

Pariwisata halal (halal tourism) tak kalah seksinya bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, ceruk pariwisata Indonesia dikenal mancanegara. Seiring meningkat dan berkembangnya tren konsumen halal lifestyle dan pariwisata halal, sektor ini mencakup seluruh aspek yaitu lokasi wisata, kuliner, hotel, barang gunaan, fasilitas ibadah, hingga sektor riil. Perkembangan sektor pariwisata halal dengan sendirinya akan mendorong pertumbuhan industri halal di Indonesia.

Muslim fashion adalah sektor industri halal yang masa ke depan dipastikan akan menaikkan rating Indonesia dalam Global Index Economics (GIE) Indicator. Saat ini banyak muncul desainer-desainer muda fashion hijab telah membawa fashion Muslim Indonesia ke kancah global. Di sektor ini, menurut laporan State of the Islamic Economy Report, 2019 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua tertinggi setelah UAE (Uni Emirat Arab).

Pasar industri halal di Indonesia, khususnya sektor halal food, travel, fashion, obat-obatan dan kosmetik halal telah meningkat hingga mencapai sekitar 11% dari pasar global sejak tahun 2016 (bi.go.id, 2018). Perdagangan produk halal obat dan farmasi tercatat 506 miliar dolar AS, kosmetik 230 miliar dolar AS, dan lain-lain sebesar 660 miliar dolar AS. Diperkirakan pada 2023, jumlah perdagangan produk halal global bisa mencapai lebih dari tiga triliun dolar AS (https://republika.co.id/diunduh 9 Juli 2019).

Dahulu, kosmetik halal belum menjadi tren di masyarakat Indonesia karena kosmetik merupakan barang yang tidak dikonsumsi langsung di dalam tubuh manusia sehingga masyarakat menganggap bahwa kosmetik tidak perlu halal. Namun, saat ini kosmetik halal menjadi new-trend dan bagian dari life style berkelindan dengan modest-fashion. Banyak pelaku usaha kosmetik yang mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal. Kecenderungannya sama dengan obat-obatan, restoran, katering, barang gunaan, dan jasa.

Satu sektor lagi yang tengah dimajukan pemerintah adalah kawasan industri halal. Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementrian Perindustrian telah menyiapkan regulasi bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengembangkan kawasan industri halal terutama untuk memperluas jangkauan produk makanan dan minuman, kosmetik, ekonomi kreatif, dan garmen. Produk yang dihasilkan akan diorientasikan ke pasar ekspor, terutama ke negara-negara Timur Tengah karena tingkat konsumen tertinggi kedua setelah Indonesia (kemenperin.go.id, 2018).

Tak ayal, perkembangan teknologi dipastikan mendorong pertumbuhan berbagai media rekreasi dan startup islami. Anak-anak milenial yang gemar dengan teknologi terbaru sangat potensial menjadi pemainnya. Saat ini Thailand dan Pakistan telah mengembangkan aplikasi halal-scan yang dapat mendeteksi kehalalan suatu produk dengan melakukan scan pada barcode produk. Perusahaan startup di Asia Tenggara mulai fokus pada target pasar Muslim. Industri rekreasi dan perhotelan yang kurang diminati wisatawan Muslim membuat Fazal Bahardeen, CEO dari Halal Trip,  mengembangkan aplikasi yang menyediakan panduan, tips, dan layanan lainnya untuk membantu pengguna Muslim berwisata ke tempat baru dan mencari makanan halal, masjid, dan sejenisnya. Rushdi Siddiqui dari Malaysia meluncurkan Zilzar, Amazon versi Muslim yang menyediakan banyak pilihan akan produk-produk halal, termasuk qur’an elektronik, tasbih, makanan, dan banyak lagi (https://www.cekindo.com/).

Secara teknologi, Indonesia tak kalah karena memiliki banyak anak-anak muda yang bermain di startup dan unicorn yang bergerak dalam industri kreatif. Poinnya, berbagai sektor baru yang lebih menantang mengenai isu halal akan muncul, makin tumbuh pesat dan tak terbendung. Tinggal kesiapan perguruan tinggi menghadapi tantangan ini: maju atau kalah? (*)

*Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH