Pertukaran Identitas

Oleh: Mohammad Sabri

CITRA modernitas adalah citra geometris. Satu babak kemanusiaan yang mengandaikan hidup sebagai yang benderang, linear, dan jelas. Sembari bertumpu pada nalar Cartesian, manusia modern menangkap dunia dengan kukuh: Aku adalah tahu. Tapi di situlah letak soalnya, ketika subyek “aku-yang-tahu” didaulat di atas tubuh dan di sekujur sejarah yang guyah.

Dalam Cultural Studies, ide tentang “aku” memiliki paras ganda: “subyek” dan “identitas”: Jika yang pertama mengandaikan aku yang stabil, kodrati, permanen, dan autentik maka yang terakhir lebih menunjuk pada aku yang labil, guyah, konstruksi, dan genting.

Kehadiran globalisasi membawa hidup yang riuh, gemuruh, serba-cepat, tapi juga menyisakan sepi. Globalisasi, sebab itu, lebih menyediakan sebilah tempat lapang bagi “konstruksi” identitas: pertukaran benda-benda, persilangan aneka lambang, pergerakan antar ruang-waktu yang demikian cepat akibat teknologi komunikasi dan terbitnya budaya cyber. Akibatnya, persilangan dan perjumpaan kebudayaan menjadi sesuatu yang enteng.

Pieterse (1995) mendaku, dalam globalisasi, kebudayaan dan identitas bersifat translokal. Kebudayaan dan identitas tidak lagi memadai jika dipahami dalam term “tempat” (place), tetapi lebih dikonseptualisasikan sebagai “perjalanan” (travelers): sesuatu yang mengalir dari satu tempat ke tempat lain. Di titik ini, kebudayaan dan identitas selalu merupakan perjumpaan dan persilangan aneka kebudayan dan identitas. Inilah yang disebut hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan disamarkan dan dibuat labil oleh hibridasi.

Dalam subkultur anak milineal kita, hibriditas tampak sebagai hasil “internasionalisasi”: anak-anak Indonesia dalam hal makanan saja misalnya, telah mengalami apa yang oleh George Ritzer dalam The McDonaldization of Society (1993) disebut “McDonalisasi”. Mereka menjelma menjadi generasi Coca-cola, MTV, KFC, dan Hard Rock CaféBelakangan, budaya populer Korea juga hadir bagai angin siklon: ramane, tteobokki, dan K-Pop yang menjadi bagian dari gaya hidup dan “identitas” baru mereka. Demikian juga, kehadiran dunia cyber dan gadget, telah menjelma realitas dan kesadaran ”baru” yang merampas segenap konsepsi, imajinasi, dan relasi mereka perihal realitas.

Homi Bhabha (1994) menyebut gejala tersebut sebagai mimikri, yakni proses “peniruan” sejumlah elemen kebudayaan liyan. Menurutnya mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan absolut, tetapi peniru bermain di kancah dan menikmati ambivalensi yang tengah berlangsung dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri—dalam pendakuan Bhabha—selalu  mengandaikan makna yang “anomalis”, ia imitasi tapi juga subversi. Di sini, mimikri bisa diandaikan sebagai strategi menghalau dominasi. Ibarat topeng: ia bersifat ambivalen, mengawetkan tetapi juga menegasikan dominasinya. Inilah fondasi sebilah identitas hibrida.

Sejak ide globalisasi menggelinding di meja redaksi jurnal-jurnal bisnis internasional pada dekade awal 1970-an, praktik ekonomi mondial berlangsung dengan pengaruh cukup kuat terhadap lahirnya apa yang dalam cultural studies dikenal sebagai budaya pop dan life style. Di titik ini, globalisasi kemudian punya saudara kembar yang tak kalah kemilaunya, glokalisasi.

Glokalisasi juga sebentuk hibridasi yang melakukan adaptasi produk global dengan karakter yang bercita rasa pasar lokal. Glokalisasi, sebab itu, boleh dibilang strategi dan juga kritik terhadap konsep perdagangan bebas neolib, yang tidak lagi mengandaikan spesialisasi produk khas yang dimiliki sebuah negara. Karena itu para produsen mengondisikan sedemikian rupa agar sebuah negara sebagai target pasar, berada dalam satu aras sosio-kultural yang sama dengan negara asal sebuah produk. Glokalisasi, misalnya, benderang ketika KFC—dalam membangun cita selera pasar lokal—mengontrak sejumlah artis papan atas setempat seperti Agnes Monica, Wulan Jamila, Baby Romeo, Ungu dan seterusnya, sebagai bintang iklan untuk “menghipnotis” pasarnya di Indonesia.

Cultural Studies meletakkan glokalisasi sebagai gejala adaptasi produk-produk global dalam paras lokal yang dilakukan masyarakat dalam anyaman budaya hibrid. Adaptasi, interpretasi, dan mimikri masyarakat lokal itu pada urutannya menggelontorkan kemungkinan adanya pergesaran—jika bukannya pendistorsian—makna  atas nilai budaya dari satu tempat tertentu. Sebutlah misalnya, bagaimana celana jeans yang dipakai kelas pekerja dan cowboy di Amerika atau Eropa, di Indonesia justru hadir sebagai fashion elite dan eksklusif. Ini menunjukkan, terdapat interpretasi atau “kosmos” yang berbeda antara masyarakar Indonesia dan Amerika dalam hal pakaian.

Slogan logosentrisme, return of the text meletakkan bahasa sebagai medium dalam proses glokalisasi. Bahasa mampu menganyam emosi hingga produk global terasa lokal. Kesetiaan pemirsa Indonesia terpaku berjam-jam di hadapan televisi ketika menyaksikan tayangan sinteron-sinetron India melalui proses dubbing—semisal Mahabharata, Rada Krishna—bukannya  jejak apresiasi mereka terhadap kebudayaan India, tapi lebih karena sebagian besar plot cerita yang disuguhkan, mengolah konflik keseharian manusia, dari cinta, kesetiaan, penghianatan, perebutan warisan, perselingkuhan, hingga perebutan kuasa.

Melalui bahasa, glokalisasi juga menerpa jagad politik-demokrasi di tanah air ketika, “Mama, minta pulsa” dan “Papa, minta saham” menjadi pergunjingan publik dan menyeret seorang ex Ketua DPR RI menjadi “pesakitan” dan disekap dalam terungku.

Gejala hibridasi identitas, juga glokalisasi, kini tengah menggelombang, merasuk, dan menginvasi kehidupan jamak masyarakat Indonesia dan mengerkah bangunan ideologi kita, Pancasila. Akibatnya, “subyek”, sang aku-autentik pun kian samar, pucat, dan sunyi di titik tepi. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).