Papua

Kastara.ID, Jakarta – Tokoh Pemerharti Papua Imron Cotan menyebut dua poin solusi menyelesaikan konflik di wilayah Papua. Pertama, soft approach atau pendekatan lembut dan hard approach atau pendekatan sulit.

Ia menjelaskan soft approach ini menerapkan seluruh ketentuan dalam undang-undang. Terutama yang terkait dengan penyelesaian dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang mungkin dilakukan oleh kedua belah pihak.

“Pendekatan ini bisa melibatkan seluruh tokoh dari tujuh wilayah adat. Berdasarkan catatan Gugus Tugas Papua UGM dari 2020 hingga April 2021 terdapat dugaan tindakan kekerasan justru terbanyak dilakukan oleh Kelompok Separatis dan Teroris Papua (KSTP) sebanyak 188 kasus, warga sebanyak 65 kasus, orang tidak dikenal sebanyak 14 kasus, TNI sebanyak 19 kasus, dan Polri 13 kasus. Itu TNI dan Polri masih dugaan. Jadi lebih banyak dilakukan KSTP,” kata Imron di webinar “Konflik Keamanan di Papua dan Solusinya” yang digelar Moya Institute (23/7).

Imron menambahkan, untuk membangun dialog yang melibatkan Orang Asli Papua (OAP) dan non OAP. Hal ini sebagai dasar bagi pemerintah untuk mencari solusi final bagi konflik di Tanah Papua.
“Pendekatan lembut ini membangun dengan dialog melibatkan orang asli papua,” kata Imron.

Lalu dengan hard approach yaitu dengan melakukan yang pertama melancarkan operasi justisi guna menghentikan tindakan koruptif, terutama yang menguntungkan KSTP.

Kedua, melancarkan operasi militer secara massif dan terukur. Hal ini untuk menegasi gangguan keamanan dari sayap militer KSTP, dengan menekan jumlah kolateral sekecil mungkin.

“Ketiga, menindaklanjuti penetapan OPM sebagai organisasi terorisme dengan mengusulkan pemasukannya dalam dafatar terorisme tingkat regional (ASEAN dan global (PBB),” tutur Imron.

Lalu keempat, menetapkan secara rinci koordinasi batas-batas wilayah Indonesia dan memasukkanya kedalam UUD 19945 dengan menggunakan peta kuno pemerintah kolonial Belanda sebagai rujukan utama.

Lebih lanjut, Undang-Undang No. 43/2008 Tentang Wilayah Negara selain kedudukannya lebih rendah dari konsitusi.

“Juga masih memberikan ruang untuk perundingan (bilateral, trilateral Pasal 6 Ayat 2). Sehingga menimbulkan ketidakpastian. Dimasukan atau tidak ke dalam konsitusi, pertikaian batas wilayah, akan tetap berlangsung. Perundingan dapat diserahkan kepada jalur diplomatik, tetapi kepastian batas wilayah telah dideklarasikan terlebih dahlu di dalam konsitusi, sesuai dengan Montevideo Convention 1933 (kasus China),” paparnya.

Pemerintah telah melakukan mencari solusi soal Papua. Di antaranya empat upaya mencari solusi yaitu pertama menyempurnakan atau memperkuat isi intruksi Presiden No. 9/2020 untuk mengakselerasi pembangunan di Tanah Papua diselaraskan dengan kondisi sosial budaya, wilayah adat, dan zona ekologis lokal dengan orang asli Papua sebagai subjek utamanya.

Kedua, mengakomondir UU No. 21/2001 tentang Otonomis Khusus (Otsus) Papua dengan meningkatkan persentase Dana Alokasi Umum (DAU) Pusat dari 2 persen menjadi 2,25 persen.

Ketiga, menyetujui pemekaran provinsi di Papua disesuaikan dengan wilayah adat yang ada. Di mana pengesahan amandemen Undang-Undang Otus Papua telah dilakukan DPR RI pada Kamis, 15 Juli 2021.

Keempat, pendekatan kesejahteraan dalam penyelesaian konflik di Tanah Papua perlu diperkuat dengan kehadiran personil Polri dan TNI. Terutama di kantong-kantong KSTP aktif. Guna menjaga keamanan dan ketertiban umum, agar hasil pembangunan dirasakan masyarakat akar rumput.

“Upaya pemerintah sejauh ini belum efektif, akibat pembangkangan pemerintah daerah atas sejumlah kebijakan pemerintah pusat. Terakhir, Gubernur Papua mengganti Sekretaris Daerah, sementara otoritas pengganti tersebut merupakan kewenangan Presiden melalui Keppres,” pungkasnya. (*)