Banyumas

Kastara.ID, Jakarta – Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan, gelombang kedua pandemi Covid-19 bisa lebih mengerikan sebab masih sulit diprediksi, khususnya di Indonesia. Hal tersebut lantaran keterbatasan data yang disajikan pemerintah membuat prediksi puncak penularan yang menjadi patokan untuk mengukur gelombang kedua penularan beragam dan tidak dapat dipastikan.

“Indonesia masih belum gelombang kedua. Pemodelan saat ini, puncaknya pun terus terang, pemodelan yang kami lihat dan lakukan untuk Indonesia terbatas sekali kesempurnaannya karena terbatasnya data,” ujar Dicky seperti dilansir CNNIndonesia.com (24/4).

Dicky mengatakan, data yang lengkap adalah syarat untuk membuat pemodelan sebuah epidemi. Salah satu data yang saat ini tidak lengkap, kata dia, adalah data tes dari pemerintah. Dia menilai data tes dari pemerintah yang tidak proporsional mempengaruhi akurasi pemodelan Covid-19.

Indonesia belum mencapai puncaknya. Saat ini, dia mengatakan posisi penularan Covid-19 di Indonesia masih pada fase kurva menanjak. Sedangkan gelombang kedua, kata dia, terjadi ketika satu wilayah mencapai puncak penularan pertama.

Hasil pemodelan dari data yang seadanya, Dicky mengatakan puncak epidemi di DKI Jakarta dan Jawa Barat yang merupakan kawasan paling banyak ditemukan kasus paling cepat akan terjadi pada awal atau pertengahan Mei 2020. Sedangkan daerah lain, dia mengatakan tergantung dari sejak kapan kasus ditemukan. Di sisi lain, gelombang kedua memilik prasyarat.

Pertama, dia berkata gelombang kedua atau seterusnya adalah jika penduduk pada satu wilayah belum memiliki kekebalan yang memenuhi syarat minimal adanya perlindungan terhadap pandemi Covid-19. Misalnya, dia berkata angka reproduksi atau penularan sudah sebesar 50 hingga 60 persen dari total populasi.

Saat ini, semua negara sedang menghitung berapa persen penduduknya yang sudah terpapar dan sudah memiliki kekebalan terhadap Covid-19. Dengan mengetahui persentase populasi yang kebal, negara bisa mengantisipasi.

Gelombang kedua penularan pada umumnya terjadi setelah satu bulan dari puncak epidemi. Contohnya Wuhan, gelombang kedua terjadi setelah mengalami puncak epidemi pada bulan Februari hingga Maret 2020.

Dicky menuturkan, sejarah menyebutkan gelombang kedua epidemi akan lebih buruk dari gelombang pertama. Sebab, gelombang terjadi akibat kelalaian. (ant)