Cultural Studies

Oleh: Mohammad Sabri

DEWASA ini, angin perubahan berembus kencang di atas cakrawala ilmu-ilmu sosial—menyusul terbitnya pemikiran teori-teori sosial kritis “Mazhab Frankfurt”—yang  mengandaikan penyegaran-penyegaran dalam menyikapi kompleks realitas sosial. Salah satu penyegaran itu adalah Cultural Studies (CS) yang berikhtiar mendobrak dominasi dan arogansi negara-negara yang mentahbiskan diri berperadaban tinggi di tengah budaya dan peradaban liyan.

Jejak CS dalam arus sungai literasi, tak bisa dipisahkan dengan tiga tokoh “pendiri” tren studi ini: Richard Hoggart, Raymond Williams, dan E.P. Thompson—dosen dan aktivis yang sama-sama berlatar belakang “kelas pekerja” di Inggris—memungkinkan mereka memandang kritis asal muasal mereka yang berkiprah di tengah kancah yang didominasi oleh budaya kapital-elitis.

Anggitan Cultural Studies sendiri lahir dari Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di sebilah musim dingin di Universitas Birmingham, Inggris pada 1964. Edisi perdana jurnal mereka, Working Papers in Cultural Studies terbit pada 1972 dengan tujuan khusus: “Mendefinisikan dan mengisi sebuah ruang, serta meletakkan Cultural Studies pada peta bumi intelektual”. Melalui jurnal ini, tulisan para tokoh pendirinya dipublikasikan ke seluruh dunia dan kelak dipandang sebagai teks-teks dasar CS.

Kembali pada tujuan “mengisi ruang pada sebuah peta bumi intelektual”, CS lalu meletakkan terlebih dahulu pengkajiannya terhadap makna fundamental istilah teknis ‘budaya’. Raymond Williams—sebagai pemuka pemikir CS—dalam Keywords (1974), mengandaikan tiga batasan luas tentang budaya. Pertama, budaya sebagai proses umum tertentu dari perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika sebuah masyarakat. Kedua, budaya dimaknai sebagai suatu jalan hidup spesifik yang dianut baik oleh orang, periode, maupun oleh sebuah kelompok tertentu. Ketiga, budaya dilihat sebagai karya-karya dan praktik intelektual.

Karya-karya Williams merengkuh aspek yang luas. Di samping soal kebudayaan, ia juga menulis novel dan kritik sastra. Tetapi isu yang paling merisaukan Williams adalah demokratisasi. “Demokratisasi,” dalam pendakuan Williams juga “adalah sebuah komitmen moral,” di atas mana sebagian besar pemikiran-pemikirannya tumbuh dan mekar. Karya-karya politik kebudayaan Williams selalu menautkan isu kebudayaan, politik, dan kondisi-kondisi sosial, yang uraiannya secara elaboratif dan tajam dapat dijumpai pada Culture and Society, 1780-1950 (1958) dan The Long Revolution (1961).

Baik Culture and Society maupun The Long Revolution, belakangan punya pengaruh sangat kuat dalam tradisi CS. Bagi Williams, kebudayaan sekaligus merengkuh seni, nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari: ia merupakan bagian dari totalitas relasi-relasi sosial. Teori kebudayan, dengan begitu, didefinisikannya sebagai studi tentang relasi-relasi antarelemen dalam kehidupan sosial. Williams (1961) lebih jauh mendaku, “kita perlu membedakan tiga tingkat kebudayaan, bahkan dalam definisi yang paling umum. Pertama, definisi ‘ideal’—budaya dipandang sebagai proses penyempurnaan kehidupan manusia (human perfection). Kedua, definisi ‘dokumenter’—budaya dimaknai sebagai susunan intelektual dan catatan pemikiran manusia. Ketiga, definisi ‘sosial’—budaya sebagai deskripsi dari sebilah jalan hidup partikular, yang memproduksi makna dan nilai tertentu.

Diksi kunci yang kerap digunakan CS adalah “membongkar praktik kekuasaan, menghancurkan hegemoni ideologi, “meruntuhkan wacana tertentu, dan seterusnya. Dilihat dari akar historisnya—yang bermula dari semangat perlawanan terhadap budaya elite tradisi ilmiah—gemuruh penggunaan terminologi tersebut dapat dipahami.

Dalam perkembangannya—CS sebagai sebuah disiplin yang tumbuh dengan karakter yang khas dan tipikal—pada urutannya memiliki paras yang jamak di setiap wilayah. CS Inggris misalnya, sebagai “prototipe” CS, kini dipandang sebagai disiplin yang kelewat formalistik, dingin, dan kaku, sehingga mendapat badai kritik karena terlalu Anglosentris—mengukur segala perihal dari perspektif Anglo-Saxon. CS di Amerika Serikat menampilkan pop culture demikian kental. CS di Prancis sebaliknya memperlihatkan pesonanya di tengah gelombang revolusi sosial dan pergulatan kelas, menyusul membanjirnya imigran dari Aljazair dan Afrika Utara. Sementara kajian CS di Kanada memperlihatkan kompetisi kultural yang berlangsung di antara budaya tiga penutur bahasa dominan: Inggris, Prancis, dan bahasa asli Kanada sendiri. Lain halnya di India, CS justeru memfokuskan kajiannya pada semangat “perlawanan” anak benua asli dalam menghalau praktik-praktik kolonialisme maupun pascakolinialisme.

Ikhtiar meletakkan Indonesia dalam ranah kajian CS—yang tabiat kebangsaannya mekar dalam spirit Bhinneka Tunggal Ika—membuka ruang diskusi yang bisa mendorong lahirnya paras studi budaya yang khas dan tipikal. Hal tersebut menjadi mungkin, karena Indonesia sebagai bangsa yang pelbagai secara kultur, etnisitas, agama, sosial dan gaya hidup, akan menerbitkan warna yang jamak sekaligus ciri penting yang membedakannya dengan kajian CS di wilayah lain.

Betapa pun—dari aspek materi kajian—Indonesia sejatinya punya sumber-sumber budaya, sosial, etnisitas, dan sejarah berlimpah yang tak kalah uniknya dengan kawasan lain yang sudah lebih dahulu mengusung CS. Kehadiran CS di Indonesia, karena itu, tidak hanya membentangkan perspektif alternatif bagi studi budaya, sosial, dan kemanusiaan di masa depan yang dekat, tapi juga sebilah ruang yang memungkinkan ideologi Pancasila menjelma sebagai paradigma ilmu pengetahuan bagi mekarnya kajian budaya dan ilmu-ilmu sosial kritis di tanah air. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).