Penjara

Oleh: Fadil Aulia, S.H 

SITUASI pandemi Covid-19 membuat pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengambil kebijakan membebaskan narapidana melalui program asimilasi dengan ketentuan yang ada. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah tersebut cukup menghebohkan sejumlah kalangan masyarakat. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa kebijakan membebaskan narapidana di tengah situasi pandemi Covid-19 itu bukanlah merupakan kebijakan yang harus dilakukan. Hal tersebut terbukti, yang mana dengan dibebaskannya narapidana itu membuat beberapa narapidana yang dibebaskan tersebut kembali melakukan kejahatan setelah dibebaskan. Meskipun sampai sekarang tidak ada data yang konkrit mengenai berapa jumlah narapidana yang telah dibebaskan tersebut kembali melakukan tindak pidana, akan tetapi hal tersebut cukup menghebohkan dan menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.

Terlepas dari perdebatan mengenai apakah kebijakan yang diambil oleh pemerintah membebaskan narapidana tersebut seharusnya dilakukan atau tidak, pada dasarnya terdapat hal lain yang cukup menarik untuk didiskuisikan dan direnungkan lebih lanjut. Dengan adanya kebijakan yang diambil oleh pemerintah membebaskan narapidana tersebut, pada dasarnya dapat dijadikan sebagai momentum untuk melihat kembali bagaimana politik penjara nasional di Indonesia.

Eksistensi penjara di Indonesia
Pidana penjara merupakan salah satu bentuk sistem pidana hilang kemerdekaan yang  sampai sekarang masih dipertahankan di dalam hukum pidana di Indonesia sebagaimana yang terdapat  di dalam Pasal 10 KUHP. Dan pidana penjara ini tampaknya juga akan terus ada dalam hukum pidana di Indonesia karena  dalam rumusan Rancangan KUHP, pidana penjara masih terlihat eksistensinya. Tidak bisa dipungkiri pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana favorit baik bagi pembentuk hukum, aparat penegak hukum maupun bagi masyarakat yang ada di Indonesia.

Kita sering mendengar ketika orang melakukan suatu tindak pidana maka orang tersebut akan dimasukkan ke dalam penjara. Itu artinya dalam fikiran kita akhir dari kejahatan itu adalah penjara. Masyarakat pada dasarnya puas ketika seseorang yang melakukan suatu tindak pidana telah dimasukkan ke penjara. Padahal masih terdapat jenis pidana lainnya dalam hukum pidana yang bisa dikenakan terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana. seolah-olah pidana penjara tidak bisa dilepaskan dari hukum di Indonesia.

Akan tetapi, eksisnya pidana penjara di Indonesia tersebut tampaknya tidak berbanding lurus dengan hasil yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, angka residivis di Indonesia masih sangat tinggi yaitu mencapai 24 ribu orang. Itu artinya terdapat permasalahan besar dalam sistem penjara atau pemasyarakatan yang ada di Indonesia yang menyebabkan orang yang telah keluar dari penjara kembali melakukan suatu tindak pidana.

Permasalahan tersebut tentunya sudah sangat lama terjadi, akan tetapi sampai sekarang ini belum  ada perhatian serius dari pemerintah sendiri untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Padahal tolak ukur keberhasilan hukum pidana suatu negara untuk memberantas suatu kejahatan tidak hanya terletak pada berhasilnya pihak kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, berhasilnya pihak kejaksaan dalam melakukan penuntutan dan berhasilnya pihak pengadilan dalam mengadili pelaku kejahatan, akan tetapi berhasilnya penjara/lembaga pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana juga menjadi salah satu ukuran keberhasilan suatu  negara dalam memberantas kejahatan. Jadi ketika penjara tidak berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana maka rentetan tugas yang  sudah dilaksanakan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang sudah menghabiskan begitu banyak waktu dan biaya tidak ada artinya sama sekali.

Politik Penjara Nasional
Politik penjara nasional merupakan usaha yang digunakan untuk mencapai tujuan penjara nasional. Politik penjara nasional ini merupakan bagian terpenting dari pemberantasan kajahatan. Politik penjara nasional ini pada dasarnya harus disusun dan diselenggarakan sesuai dengan keadaan masyarakat dan negara Indonesia itu sendiri, itu artinya politik penjara nasional harus bercorak nasional Indonesia.

Koesnoen menjelaskan untuk melaksanakan politik penjara nasional dapat dilakukan dengan 4 cara. Pertama, pelaksanaan politik penjara nasional harus dilaksanakan secara integral, artinya harus ada keterhubungan antara satu sistem/aturan dengan sistem lainnya. Kedua, pelaksanaan politik penjara nasional harus didukung dengan aturan kepenjaraan/pemasyarakatan yang sesuai dengan sifat bangsa Indonesia. Ketiga, pelaksanaan politik penjara nasional harus memperhatikan kepegawaian penjara/pemasyarakatan. Petugas pemasyarakatan harus mempunyai keilmuan dan kemampuan  yang mumpuni. Karena meskipun teori dan peraturan mengenai lembaga pemasyarakatannya sudah bagus akan tetapi jika pegawai lembaga pemasyaratannya kurang mumpuni maka akan gagal. Keempat, politik penjara nasional harus dilakukan pembagian antara politik penjara nasional umum dan politik penjara khusus. Yang mana dengan adanya pembagian tersebut mencakup secara konkret pelaksanaan politik penjara nasional.

Jika melihat kepada aturan yang ada baik aturan pokok maupun aturan pelaksana mengenai lembaga pemasyarakatan atau penjara dan juga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga terkait, tidak terlihat kemana arah politik penjara nasional Indonesia. Politik penjara nasional Indonesia sekarang ini seperti berjalan tanpa arah. Dari segi aturan yang digunakan UU No. 12 Tahun 1995 yang bisa dibilang sudah tidak memadai masih dipertahankan untuk mengakomodasi pelaksanaan pemasyarakatan yang berjalan tanpa arah. Tidak jelasnya arah dari pada usaha untuk mencapai tujuan penjara nasional tersebut menjadi penyebab dari pada gagalnya pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Sehingga tidaklah mengherankan kiranya, pada masa pandemi Covid-19 ini ketika pemerintah mengambil kebijakan membebaskan  narapidana dengan program asimilasi kemudian narapidana tersebut kembali melakukan tindak pidana. Karena memang penjara Indonesia belum memliki politik penjara yang jelas bisa menjamin pembinaan mantan narapidana tidak melakukan tidak pidana kembali setelah dibebaskan.

Oleh karena itu, dengan adanya pandemic Covid-19, kebijakan yang diambil dan akibat dari pada kebijakan tersebut setidaknya menjadi momentum bagi kita semua untuk melihat kembali bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia dan usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan pemasyarakatan itu sendiri. (*)

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.