Hoax

Kastara.id, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum cukup untuk menindak penyebar berita palsu (hoax) maupun menjerat penebar kebencian di media sosial.

Menurut politikus kelahiran Klaten, Jawa Tengah tersebut, amanat yang termaktub di UU ITE perlu dijabarkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). “Kami mendorong pemerintah untuk membuat PP yang mengatur penindakan terhadap kasus ujaran kebencian dan penyebar hoax. Karena sekarang kebijakan yang ada baru sebatas peraturan menteri. UU ITE sudah bagus, tetapi akan lebih jelas dan terukur penindakannya jika dituangkan dalam PP,” katanya di Jakarta, Sabtu (26/8).

Sukamta lebih lanjut menjelaskan, PP itu nantinya bisa menjadi aturan tertulis yang mengikat provider atau perusahaan penyedia layanan media sosial. Kemudian pemerintah juga bisa lebih jelas membedakan sanksi bagi perusahaan medsos dan pengguna atau pemilik akun di jejaring tersebut. “Untuk provider, mereka jadi punya tanggung jawab untuk censorship dan membentuk unit penanganan hoax. Sementara pemilik akun juga diminta tanggung jawab pemakaian,” ujarnya.

Hal tersebut sejalan dengan usulan pembicara lain dalam diskusi ini. Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo, sekaligus ketua Presidium Jaringan Wartawan Anti-hoax (JAWAH), mendesak perusahaan-perusahaan media sosial dijadikan subjek hukum di Indonesia. Dengan begitu perusahaan medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sejenisnya bisa dimintai keterangan serta pertanggungjawaban oleh petugas penegak hukum.

Terlepas dari kebebasan berekspresi di ruang publik adalah urusan pemilik akun, perusahaan medsos tetap berperan sebagai pengelola mesin penyebar informasinya. Jadi, mereka juga perlu dibebankan tanggung jawab sosial yang sama dengan penggunanya. Sepekan terakhir, terungkapnya sindikat penyebar ujaran kebencian menjadi isu terhangat di Indonesia.

Polisi menangkap tiga tersangka anggota jaringan penebar kebencian dan informasi palsu tersebut. Mereka adalah Jasriadi (32) selaku ketua, Muhammad Faizal Tanong (43) koordinator bidang media dan informasi, serta Sri Rahayu Ningsih (32) koordinator grup Jawa Barat. Jasriadi terjerat tindak pidana ilegal akses, melanggar Pasal 46 Ayat (2) juncto Pasal 30 Ayat (2) dan/atau Pasal 46 Ayat 1 juncto Pasal 30 Ayat 1 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016.

Ancaman pelanggaran pasal tersebut maksimal 7 tahun penjara. Sementara kedua rekannya dijatuhi tindak pidana ujaran kebencian. Itu berarti melanggar Pasal 45 A Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan Pasal 45 Ayat (3) juncto Pasal 27 Ayat 3. Ancaman hukumannya masing-masing 6 tahun penjara. (npm)