Gempa Lombok

Kastara.id, Jakarta – Pemerintah tengah melakukan kajian ilmiah terkait sejumlah faktor penyebab wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diguncang rentetan gempa bumi sejak akhir Juli lalu. Kajian ini melibatkan ilmuan dari sejumlah institusi terkait seperti Badan Geologi Kementerian ESDM, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar mengutarakan, Pemerintah mengemban tugas untuk memberikan penjelasan atas kronologi dan penyebab gempa bumi. “Pemerintah memiliki kewajiban menjelaskan kepada masyarakat terkait bencana gempa bumi di Lombok. Makanya, kita harus menggagas kerja sama guna menghadapi hal serupa di tempat lain juga,” ujar Rudy di kantor Kementerian ESDM Jakarta, Senin (27/8).

Hasil kajian ilmiah, imbuh Rudy, nantinya akan digunakan untuk menyampaikan informasi yang benar dan satu suara dari Pemerintah agar masyarakat tidak mengalami kebingungan. “Kami memiliki bertanggung jawab menyampaikan data yang akurat kepada masyarakat agar tidak terjadi simpang siur pemberitaan gempa,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kasbani mengutarakan bahwa dari hasil analisa sementara, Badan Geologi menyampaikan pemicu gempa bumi di Lombok dihubungkan dengan aktivitas Zona Patahan Belakang Busur Flores (Flores Back Arc Thrust). “Para ahli sudah sepakat gempa bumi di Lombok disebabkan adanya Zona Patahan Belakang Sesar Naik Belakang Busur Flores,” ujar Kasbani.

Kasbani menegaskan, adanya gempa bumi di Lombok tidak mempengaruhi aktivitas Gunung Rinjani dan Gunung Agung. “Sementara ini tidak berpengaruh. Yang patut diwaspadai hanya potensi longsor yang terjadi di puncak Gunung,” tegas Kasbani.

Selain itu, sebaran gempa bumi awal (foreshock), gempa bumi utama (mainshock), dan gempa bumi susulan (aftershock) di Lombok pada 29 Juli dan 5 Agustus 2018 berada pada segmen bidang patahan yang sama. Sedangkan gempa bumi pada 19 Agustus untuk sementara diperkirakan dalam segmen patahan yang berbeda.

Berdasarkan pengamatan Pusat Survei Geologi (PSG) Badan Geologi, rangkaian gempa dalam waktu yang berdekatan ini bisa ditinjau dari aspek asperiti. Asperiti sendiri merupakan area pada bidang patahan/sesar yang “terkunci” dimana memiliki gaya friksi yang tinggi dan energi utama penghasil gempa adalah dari pelepasan area ini. “Asperiti ini yang menjadi penyebab series gempa karena ada kelenturan,” kata Kepala PSG Badan Geologi Eko Budi Lelono.

Sementara itu, terkait kerusakan bangunan dengan intensitas VIII MMI (Modified Mercally Intensity) diakibatkan karena jarak yang dekat dengan sumber gempa bumi, bangunan yang dirancang tidak tahan gempa bumi, terletak pada endapan aluvial dan batuan rombakan gunungapi muda yang telah mengalami pelapukan sehingga memperkuat guncangan gempa bumi, terletak pada minor sesar permukaan, retakan tanah, dan lokasi likuifaksi.

Guna mengantisipasi kejadian serupa di masa mendatang, Badan Geologi tengah melakukan mitigasi bencana dengan menyediakan Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa bumi Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta massif melakukan sosialisasi ke masyarakat. “Kami sudah menyiapkan peta KRB,” pungkas Kasbani. (yan)