Oleh: Al-Zastrouw

SECARA psikologis manusia membutuhkan sesuatu yang dianggap lebih sebagai tempat berlindung dan mempertahankan diri menghadapi berbagai macam tekanan dan ancaman. Dalam teori psikoanalisa, Sigmund Freud, misalnya, menyebut ada 14 cara mekanisme perlindungan diri. Seorang petarung yang gigih dan kreatif akan memanfaatkan seluruh potensi diri untuk menghadapi pertarungan dan kompetisi. Sehingga bisa tampil menjadi manusia unggul yang kokoh dan kuat.

Sebaliknya manusia yang lemah dan tidak kreatif akan cenderung mencari cara menutupi kelemahan dan kekurangan diri dengan memanfaatkan kekuatan di luar dirinya agar bisa eksis dan memenangkan kompetisi.

Anak yang lemah, cengeng, dan tidak kreatif biasanya selalu berlindung di balik nama besar orang tuanya saat menghadapi masalah atau kalah bermain dengan teman-temannya. Mereka menggunakan kekuatan dan nama besar orang tuanya untuk melumpuhkan kompetitornya. Orang seperti ini tidak berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas diri, tetapi justru bersembunyi di balik perlindungan orang tua ketika menghadapi kompetisi yang makin ketat dan terbuka.

Orang atau pengusaha yang tidak berkualitas biasanya selalu berlindung di balik kekuatan kekuasaan dan menjual nama pejabat ketika berkompetisi. Mereka bisa mengatasnamakan pejabat untuk menggertak lawannya. Umat yang lemah dan tidak berkualitas biasanya selalu berlindung di balik simbol agama untuk mengalahkan lawan saat berkompetisi dan menutupi segala kelemahannya. Jika mereka kalah berkompetisi secara fair dan sportif maka tidak segan-segannya mencatut nama Tuhan untuk mencapai ambisinya mengalahkan lawan.

Di tangan politisi busuk dan agamawan brengsek, Tuhan dan agama sepertinya hanya menjadi topeng menyembunyikan kebusukan dan menakut-nakuti lawan untuk memenuhi ambisinya dengan memanfaatkan umat yang memiliki semangat keagamaan tinggi namun miskin pemahaman. (*)

*Dosen Pasca Sarjana Unusia, Penggiat seni tradisi dan budaya Nusantara