Pertamina

Kastara.ID, Jakarta – Staf Ahli PT Pertamina (Persero) Rifky Effendi Hardijanto menyebut bahwa bahaya persoalan tingkat cadangan bahan bakar minyak alias BBM yang hanya 12 hari tidak segera ditangani bisa menimbulkan dampak politik yang sangat besar.

Hal tersebut karena berdampak ke political cost yang luar biasa ketika rakyat kekurangan bahan bakar.

Menurut Rifky, perkara hilir atau cadangan BBM bisa menjadi pertaruhan politik, sebab pemerintah bisa jatuh apabila terjadi kelangkaan bahan bakar di masyarakat. Mengingat, BBM telah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat.

Rifky juga mengatakan, pada era sebelum krisis moneter tahun 1990-an, Indonesia sempat memiliki tingkat cadangan minyak hingga mencapai 35 hari untuk dijual ke publik. Namun, kala perekonomian runtuh, International Monetary Fund datang dan meminta perseroan mengurangi biaya peralatan hingga maksimum 22 hari, alias dipotong sebanyak 13 hari.

Idealnya, berdasarkan standar internasional, stok yang mesti dimiliki suatu negara harus mencapai 90 hari. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Jepang sudah memiliki stok melebihi standar tersebut. Begitu pula dengan Thailand dan Vietnam yang menuju ke tingkat tersebut.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Rifky mengatakan, Indonesia mengalami kendala yaitu kurangnya kilang. Sebab, pembangunan kilang belum berlanjut lagi setelah era 90-an. Terakhir pembangunan kilang Balongan kapasitas 125 ribu barel pada tahun 1990-an awal, hingga saat ini belum ada lagi, sehingga Indonesia harus impor terus.

Persoalan lainnya adalah produksi minyak mentah Indonesia juga merosot dari kisaran 1,6 juta barel ke 760 ribu barel per hari. (ant)