Lemhanas

Kastara.ID, Jakarta – Ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak saja datang dari PKI, tapi juga dari kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Bila PKI ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan komunisme, DI/TII di bawah SM Kartosoewirjo ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.

“Aksi mereka tak kalah ganasnya dengan PKI. Untuk memadamkan pemberontakan DI/TII butuh waktu panjang, sejak 1949 hingga 1962 saat SM Kartosoewirjo ditangkap,” kata Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dalam Blak-blakan di detik.com, Rabu (30/9).

Keganasan mereka dapat disimak dari kesaksian orang-orang tua di Jawa Barat, khususnya di Tasikmalaya, Garut, dan Malangbong. Agus Widjojo juga mengaku masih ingat bahwa pada 1960-an orang-orang yang ingin bepergian dari Jakarta ke Bandung biasanya harus sampai di tujuan paling telat sekitar pukul empat sore. Bila sudah memasuki senja, sekitar pukul enam mereka tak lagi berani melintas jalan Rajamandala, perbatasan Bandung-Cianjur. “Karena takut dihadang gerombolan DI/TII,” ujar Agus.

Dalam catatan detik.com, perihal aksi dan kekejaman DI/TII antara lain digambarkan oleh KH Idham Chalid dalam biografinya, ‘Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah’. Menurut Idham, aksi-aksi DI/TII bersifat provokatif dan anarkistis. Banyak pemeluk Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Beberapa pimpinan cabang NU di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Suatu rapat NU pernah diserang mereka.

Di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan gerombolan DI/TII membakar banyak madrasah dan masjid yang ulama dan jamaahnya tidak sependapat dengan perjuangan mereka. Idham pun tak luput dari upaya pembunuhan. Saat menginap di Puncak, sepulang dari Bandung menuju Jakarta, misalnya, Ketua I PBNU itu ditembaki gerombolan DI/TII dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang sehingga luput dari terjangan peluru.

Saat ini narasi ancaman terhadap ideologi Pancasila yang berasal dari esktrem kanan dan kiri, menurut Agus Widjojo, kurang seimbang. Saat ini seolah yang berbahaya cuma komunisme. “Kita patut mewaspadai mengapa terjadi ketidakseimbangan ini. Ada apa, dari mana datangnya sehingga terjadi ketidakseimbangan ini?” ujar Agus. (ant)