Kastara.id, Jakarta – Indonesia masuk dalam lima besar negara target serangan cyber, berupa hack, merusak komputer, hingga virus malware semacam Ransomware yang terjadi belakangan ini.

“Diduga setiap hari terjadi 10 juta kali serangan, maka dari itu masyarakat untuk peduli pada sistem keamanan siber,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam rapat dengan  Komisi I DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (31/5).

Demi menjaga keamanan masyarakat, pemerintah tengah membentuk lembaga baru, yakni Badan Siber Nasional untuk mengantisipasi serangan dari dunia siber. Pemerintah juga membentuk komunitas pegiat siber yang terdiri dari berbagai kalangan. “Kita harus concern terhadap cyber security kita,” kata Menkominfo.

Selain itu, Menkominfo juga menjelaskan perbedaan keamanan siber negara dan masyarakat. Dikatakan, serangan siber kerap kali  dilancarkan antarnegara dalam kondisi pertahanan. “Isu cyber security dalam term keamanan masyarakat dan defence berbeda,” ujar Menkominfo

Pada peristiwa serangan Virus Ransomware, tergolong virus yang tidak menghancurkan data, tetapi membuat data tidak bisa dibuka. Untuk membukanya pemilik komputer dimintakan sejumlah uang yang dikirimkan melalui uang siber (bitcoin) ke akun tertentu. “Membuka file ini meminta tebusan sebanyak USD 300 dollar,” katanya.

Ia melanjutkan, serangan siber yang paling sering didalam negeri terjadi pada sistem Denial of Sevice (DOS) yang menganggu trafik sistem informasi akibatnya tidak bisa diakses. “Statistik serangan DOS di Indonesia pada tahun 2016 naik dibanding tahun 2015,” ujarnya.

Sebelumnya, Komisi I DPR RI meminta penjelasan Menkominfo terkait dampak serangan Virus Ransomware yang terjadi di dalam negeri beberapa waktu lalu.  “Pada pertengahan Mei lalu dunia dihebohkan dengan serangan virus ransomware yang menyerang lembaga-lembaga vital negara,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutya Vaida Hafid.

Dampak dari serangan virus tersebut, lanjut Meutya, diduga mempengaruhi terjadinya perang siber antarnegara yang sekarang menganggu Kementerian Pertahanan. Hal ini berpotensi membuat celah yang dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Sekarang terjadi cyber war dan dapat menjadi serangan terorisme,” katanya. (dwi)