Oleh: Muhammad AS Hikam

Setelah Kapolri Jenderal M Tito Karnavian, kini disusul oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memberikan pernyataan yang sama tegasnya dialamatkan kepada pihak-pihak yang menggunakan isu SARA jelang Pilkada di DKI, khususnya demo 4 November yang akan datang. Kedua petinggi alat negara tersebut menyatakan bahwa demo adalah hak tetapi tidak untuk menyebarluaskan kebencian dan politik berdasarkan SARA. Keduanya menyerukan agar semua pihak mengikuti proses hukum dan tidak memaksakan kehendak.

Presiden Jokowi juga telah menyatakan dengan terang-terangan bahwa, “Demonstrasi adalah hak demokratis warga, tapi bukan hak memaksakan kehendak dan bukan hak untuk merusak,” dalam kesempatan menghadiri Hari Menabung Nasional, hari ini, Senin (31/10). Beliau bahkan menegaskan bahwa dirinya telah minta agar “Aparat keamanan untuk bersiaga dan melakukan tugas secara profesional jika ada tindakan anarkis oleh siapa pun”.

Jika digabung menjadi satu, ketiga pernyataan tersebut alamatnya jelas, yaitu pihak yang akan berdemo pada 4 November. Pesan ketiganya jelas, yaitu jangan menggunakan SARA untuk alat politik. Kalau dilanggar, risikonya jelas juga, yaitu berhadapan dengan alat negara, baik Polri maupun TNI.

Inilah sikap proporsional dan tegas yang diambil oleh negara yang menggunakan Konstitusi UUD NRI 1945, yaitu melindungi hak warga negara untuk menggunakan hak-hak politiknya dengan mengikuti aturan hukum. Kongkritnya, jika ada kelompok yang mengumbar seruan berwarna SARA, menyuruh massa menginap di depan Istana, memaksa Polri menangkap Ahok tanpa alasan yang legal, memaksa Presiden Jokowi mundur, dan sebagainya, hal itu sudah berada di luar bingkai aturan main. Kalau mereka ngeyel, Polri dan TNI wajib hukumnya melakukan tindakan penegakan hukum.

Tinggal kita tunggu saja reaksi para pemimpin dan pendukung demo 4 November itu. (*)