Kastara.ID, Jakarta – Politikus senior Golkar Jusuf Kalla (JK) tetap optimis Anies Baswedan akan memenangkan Pilpres 2024 meskipun hasil beberapa lembaga survei menunjukkan elektabilitasnya kalah dengan Prabowo Subiakto dan Ganjar Pranowo.

“Optimisme JK beralasan karena hasil survei kerap sekali meleset. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain,” ungkap Pengamat Komunikasi Polutik M Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID, Selasa (1/8) pagi.

Menurut Jamil, hal itu bisa terjadi karena tiga hal.

“Pertama, hasil survei itu hanya potret saat survei dilaksanakan. Hasilnya tidak bisa digunakan untuk memprediksi ke depan,” tandas Jamil.

Hal itu terjadi karena pendapat umum itu sangat dinamis. Pendapat seseorang dapat berubah-ubah tergantung isu yang menerpa objek atau sosok yang dinilai.

“Kalau isu megenai objek atau sosok yang dinilai cenderung positif, maka elektabilitasnya akan berpeluang tinggi. Sebaliknya, kalau isu menerpa objek atau sosok banyak negatifnya, maka elektabilitas berpeluang akan turun,” jelas pengamat dari Universitas Esa Unggul Jakarta ini.

Jadi, elektabilitas capres saat ini tidak bisa diprediksi akan berlaku sama pada saat pencobloaan 14 Februari 2024. Hasil survei pastinya tidak memiliki kemampuan itu.

“Dua, terjadi kesalahan dalam penetapan sampel atau contoh penelitian. Kesalahan itu berkaitan dengan penetapan karakteristik dan jumlah sampel,” papar pengajar mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi ini.

Ditambahkannya, bisa jadi karakteriatik sampel yang diambil tidak menggambarkan karakteristik pemilih (populasi). Akibatnya, karakteristik sampel tidak merepresentasikan karakteristik pemilih (populasi).

“Selain itu, jumlah sampel yang diteliti juga akan menentukan presisinya. Kalau jumlah sampel 1.200 dan pemilihnya 205 juta, tentu presisinya rendah,” urainya.

Bahkan kalau sampelnya tidak representatif dan presisinya rendah, tentu hasil survei itu tidak bisa diberlakukan (generalisasikan) ke populasi (pemilih). Hal ini kiranya salah satu sebab kerapnya hasil survei mengenai elektabilitas capres kerap meleset.

“Ketiga, lembaga survei tidak melaporkan hasilnya sebagaimana adanya. Hal ini kerap terjadi karena pihak yang membiayai (sponsor) survei tidak menginginkan hasil survei dirilis apa adanya. Lembaga survei akhirnya memoles hasil survei sesuai kehendak sponsor,” ungkap penganmat yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Dalam situasi demikian, lembaga survei tidak lagi menjadi peneliti. Ia sudah berubah menjadi tim sukses yang mengemas hasil surveinya untuk kepentingan sponsor atau capres tertentu.

“Jadi, kekhawatiran JK terhadap hasil survei sangat beralasan. Sebab, hasil survei berpeluang dibelokkan sesuai keinginan sponsor. Hal ini tentunya semakin membuat hasil survei jauh dari akurasi,”

Menurut Jamil, kalau survei terus seperti itu, maka kredibilitas lembaga survei akan anjlok. “Hal ini tentunya akan membahayakan eksistensi lembaga survei di tanah air,” pungkasnya. (dwi)