MakkahMenara kembar Masjid Aisyah. (Istimewa)

Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag

Turun dari bus (28/8/2018) menjelang subuh di Masjid Tan’im, 7.5 km dari Masjidil Haram, mata saya langsung tertuju ke menara kembar setinggi 50 meter dengan cahaya yang mempercantik bangunan seluas 6.000 meter dan menjadi batas tanah suci Mekah itu.

Dua menara itu bagi saya mengingatkan dua insan, suami istri yang menangis siang dan malam demi anaknya yang tetap membangkang untuk masuk Islam (lihat QS. Al Ahqaf [46]:17). Bahkan, ia menantang sang ayah untuk adu fisik di medan perang. “Kita duel saja, siapa yang jagoan. Engkau yang pro Nabi ataukah aku yang anti Nabi,” tantang sang anak kepada ayahnya.

Ayah itu tidak lain adalah Abu Bakar As-Shiddiq r.a, salah satu sahabat yang mendapat bocoran jaminan masuk surga dari Nabi SAW. Semoga Anda, pembaca yang terhormat, mendapat kehormatan yang sama dengan sahabat yang makamnya berdampingan dengan Nabi SAW itu.

Anak durhaka itu kemudian masuk Islam setelah ibunya meninggal dunia. Dan sejak itu, Abdurrahman putra Abu Bakar itu menjadi kebangaan sang ayah dan kekasih Nabi SAW. Dialah juga yang diminta Nabi untuk memberikan siwaknya pada detik-detik menjelang wafatnya Nabi SAW.

Untuk kesekian kalinya, saya yakinkan Anda, “Hidup masih koma, belum titik.” Tidak selamanya anak Anda menjengkelkan. Sabarlah menunggu Allah memilihkan waktu yang paling tepat untuk sebuah perubahan.

Renungkan sejenak: “Ada kalanya, sebuah doa baru dikabulkan Allah setelah pendoanya meninggal dunia.”

Lho, apa kaitannya dengan Masjid Tan’im? Jika Anda masuk ke dalamnya, Anda tahu bahwa masjid itu bernama Masjid Aisyah. Abdurrahman bin Abu Bakar r.a. itulah yang diminta Nabi SAW untuk mengantarkan Aisyah r.a. melaksanaan umrah dari masjid itu untuk mengobati kekecewaannya karena tidak bisa ikut mendampingi Nabi SAW pada haji terakhir, sebab ia sedang haid waktu itu.

“Happy Aisyah”. Hebatlah istri Nabi yang paling cantik, muda, dan cerdas yang namanya diabadikan di masjid itu. Bagi siapa pun yang umrah, berbahagialah dan optimislah. Apa susahnya bagi Allah untuk menjadikan istri dan putri Anda semulia dan secerdas Aisyah berkat start umrah Anda dari Masjid itu?

Itulah umrah kedua bagi saya dan rombongan setelah seminggu sebelumnya umrah dengan start Masjid Ji’ranah, 26 km sebelah selatan Makkah menuju Thaif.

Ji’ranah adalah nama wanita yang mewakafkan dirinya sebagai perawat masjid di desa pedalaman waktu itu. “Happy Aisyah” dan “Happy Ji’ranah.” Pantaslah dua masjid start umrah itu dibangun sedemikian indah nan bersih.

Tapi, bagi saya, ada yang kurang di dua masjid itu. “Suara imamnya tidak lebih mengesankan dari imam di masjid-masjid besar Indonesia,” kata ustad Azhar, pembimbing haji Nurul Hayat. Saya juga merasakan yang sama. Ya, mohon maaf, mungkin ustad yang bisa menirukan persis bacaan dua imam Masjidil Haram, Maher Al-Mu’aiqily dan Abdurrahman As-Sudais itu dan saya sendiri masih kelas kulit dalam beragama, masih kelas bacaan dan intonasi, belum berorientasi pada isi.

“Semoga suatu saat, kita akan hanyut dengan isi firman Allah, bukan pada lagu pembacanya,” kata saya kepada para jemaah haji yang amat sumringah saat itu.

Mereka juga tampak sehat. Sebelum berangkat umrah, mereka memang ngobrol tentang katering berlogo Kemenag RI dan Catering Reyadah dalam “Bus Shalawat” yang disediakan gratis oleh pemerintah dalam perjalanan dari Terminal Jamarat menuju hotel no. 508 tempat saya menginap selama hampir sebulan.

“Lauknya weleh-weleh, daging sebesar itu dan enak, sampai saya tak habis makan sendirian. Sayang, nasinya kurang sedikit lembek,” komentar ibu yang duduk persis di belakang sopir berwarga negara Bangladesh. Tidak sedikit juga sopir dari Indonesia.

Haji
Bus shalawat yang siap mengantar jemaah haji ke Masjidil Haram selam 24 jam.

Nah, inilah giliran umrah ketiga (28/8/2018) di Masjid Hudaibiyah, 22 km sebelah barat Mekah menuju Jeddah. Disebut juga Masjid As-Syumaisi, nama penggali sumur untuk kebutuhan masjid tersebut. Tahun umrah saya kali ini berarti tahun ke-1390, sebab Perjanjian Hudaibiyah yang ditandatangani Nabi itu terjadi pada tahun 628 M.

Saat itu, Nabi bersama 1.400 muslim berangkat dari Madinah untuk umrah. Tapi dicegat penduduk Mekah karena dicurigai melakukan penyerangan. Ya, Nabi mengalah untuk menandatangi pakta gencatan senjata selama 10 tahun. Allah SWT menggambarkan, “Dan Dialah yang mencegah mereka dari membinasakan kamu, dan mencegah tanganmu dari membinasakan mereka di tengah kota Mekah setelah Allah memenangkan kamu atas mereka” (QS. Al Fath [48]:24).

Inilah perjanjian kontroversial. Bukan hanya soal rentang waktu yang lama, para sahabat juga heboh dan amat keberatan karena Nabi setuju saja dipaksa menghilangkan basmalah dan gelar kenabiannya pada perjanjian itu. Mungkin dalam bahasa pegiat Islam sekarang, Nabi dianggap tidak komitmen ber-Islam, tak bertaji, sok moderat, atau kurang nyali. Begitulah kira-kira.

Tapi, dua tahun kemudian (630 M), dunia terbelakak dan mengakui, bahwa Nabi SAW benar-benar orang cerdas dan ahli strategi, mengungguli semua sahabatnya yang paling cerdas, termasuk Umar, Abu Bakar dan

Ali bin Abi Thalib. Sebab, hanya dalam dua tahun setelah perjanjian itu, Makkah dalam genggaman Nabi SAW. Jika Anda diijinkan memasuki Ka’bah sekarang, dijamin Anda tidak menemukan satupun berhala sembahan. Ratusan berhala itu telah dibersihkan oleh Nabi SAW pada tahun itu.

Haji
Lantai luar Masjidil Haram yang dicuci dan diwangikan pagi dan siang malam oleh ratusan petugas.

Dari fakta itu, sebenarnya Hudaibiyah lebih memiliki kekuatan sejarah yang lebih dibanding Ji’ranah dan Tan’im. Tapi, pada siang panas yang mulai turun 40°C di masjid itu, saya terdiam, sedih, dan sesekali mengangkat pakaian ihram karena takut terkena najis dari lantai yang becek bercampur pasir hitam dari sandal jemaah haji. Beberapa pintu toilet juga rusak dan berkarat terutama bagian bawahnya.

“Mengapa kondisi masjid bersejarah sempit dan tak terurus seperti ini?,” tanya jemaah tua asal Maroko kepada saya yang sama-sama menahan panas dalam antrean panjang ke toilet dan wudlu, sambil mengangkat pundaknya dan mengerucutkan segenap jari-jarinya ke atas.

Ketika menunggu antrean, tiba-tiba mata saya tertuju ke toilet yang kosong. Hemm, saya berlari menuju kamar mandi tersebut. Tapi, seribu sial. “Ha ha, nasib, nasib! Ternyata WC itu mampet dengan kotoran manusia seperti gunungan pasir hasil kreasi mainan cucu saya di TK,” teriak saya sambil menahan muntah dan disambut gerrrr oleh teman jemaah Indonesia. “Enggih pak. Saya sudah tahu WC itu sejak tadi,” sahut ustad Nur, jemaah yang mendapat julukan “ustad eng-ing-eng” karena kelucuannya berceramah dengan bahasa Madura.

Saya yakin, tahun depan, masjid seluas 20×15 m2 itu akan berubah lebih cantik seperti masjid start umrah lainnya, yaitu Aisyah dan Ji’ranah.

Lupakan sajalah soal toilet dan penampilan masjid Hudaibiyah. Toh di hotel dan di Masjidil Haram, Anda sudah tidak mencium baunya lagi. Ingat yang ini sajalah, “Go Ahead Hudaibiyah”: Tirulah Nabi SAW yang mengedepankan rahmah, tanpa sedikit pun menodai semangat akidah. Lanjutkan perjuangan Islam dengan kelembutan dan kecerdasan, bukan dengan kedunguan dan keganasan.

“Happy Aisyah. Go Ahead Hudaibiyah”. (*)