Oleh: Muhammad AS Hikam

Konferensi pers Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Rabu (2 November 2016) di Cikeas terkait dengan perkembangan politik terakhir, termasuk namun tidak terbatas pada rencana demo anti Ahok di Jakarta, sangat menarik untuk dicermati. Bukan saja karena substansinya yang penting dan kekinian, serta dikemukakan pada momen yang tepat, tetapi juga karena nuansa pidato SBY yang lain dari biasa. Teramat langka beliau bicara di depan pers dengan nuansa melampiaskan kejengkelan dan kesuntukan, apalagi kemarahan, yang terpendam seperti hari ini. Ini bukan sekedar ‘curhat’ SBY seperti yang sering dikesankan orang terhadap beliau, tetapi sudah merupakan luapan rasa gerah (outrage) yang ditujukan kepada Pemerintah, termasuk Presiden Jokowi.

SBY yang berbicara monolog (tanpa ada tanya jawab) bukan SBY yang biasanya tampil di ruang publik: ‘cool’, tutur kalimat runtun dan tersusun rapi, penuh lemparan senyum, gerak tangan beragam, dan tanpa ekspressi wajah emosi. SBY hari ini tampil dengan kesan kurang sabar atau tidak ‘cool’, pilihan diksi yang tak rapi dan disampaikan terputus-putus, diseling berulangkali menghapus keringat di wajah dengan sapu tangan. Gerakan tangan menjadi ciri khas SBY, muncul tak beraturan, serta ekspressi roman muka yang nyaris tanpa senyum, apalagi humor.

Kegerahan SBY mulai kelihatan saat beliau menyinggung kiprah intelijen yang cenderung tidak akurat dan berpotesi asal tuduh terhadap pihak-pihak di luar pemerintah yang melakukan berbagai pertemuan. Bisa jadi beliau merasa ada pemberitaan atau informasi yang bersumber dari komunitas telik sandi yang dianggap tendensius terhadap lawan politik Presiden Jokowi. Dan sebagai pemimpin parpol yang berada di luar pemerintahan, SBY mengingatkan agar laporan intelijen “harus akurat, jangan berkembang menjadi intelijen yang ngawur dan main tuduh”.

Terkait soal demo Anti-Ahok, pernyataan SBY terkesan ambigu atau diplomatis. Di satu pihak beliau berpesan agar semua pihak taat dengan proses hukum dan tidak main paksa, tetapi di pihak lain, beliau cenderung mengamini pandangan bahwa gerakan protes tersebut terjadi karena pihak yang berwenang belum merespon kehendak kelopok antigubernur DKI tersebut. Namun demikian saya kira SBY berusaha untuk bersikap fair ketika menyatakan bahwa kasus Ahok ini tidak digunakan untuk mengganjal sang petahana untuk ikut bertanding dalam Pilkada DKI.

Kegerahan SBY terhadap Pemerintah Presiden Jokowi mencapai puncak ketika beliau menyinggung TPF Munir. SBY melihat inkonsistensi Pemerintah Presiden Jokowi, yang di satu pihak mengatakan tidak akan memeriksa sang mantan Presiden, tetapi di pihak lain Kejagung menyatakan akan memeriksa beliau. Bagi Presiden RI ke-6 itu, fakta tersebut membuatnya gundah karena ada kesan dirinya dianggap bagian dari konspirasi dalam kasus kematian Munir. SBY menegaskan, “Begini gundahnya, ini nggak salah negara, kalau saya justru dijadikan tersangka pembunuhan Munir? Nggak kebalik dunia ini jika SBY terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir, come on!

Kecurigaan bahwa ada berbagai upaya dari lawan politik SBY untuk memojokkan dan/atau mendiskreditkan beliau, Partai Demokrat, dan bahkan putranya, Agus H Yudhoyono (AHY), yang kini sedang berlaga dalam Pilkada DKI, terasa sangat kental dalam konpers kali ini. Rumor terkait harta kekayaan SBY dan rumah pemberian negara kepadanya pun menjadi satu paket di dalam upaya tersebut.

Publik di Jakarta maupun di seluruh Indonesia tentu akan menilai baik tampilan maupun substansi konperensi pers SBY yang sangat lain dari biasa ini. Dan tentu saja Presiden Jokowi yang menjadi salah satu target kritik perlu memberikan respon, agar ada klarifikasi dan membuat jernih persoalan yang dipertanyakan sang mantan Presiden. Jangan sampai terjadi pelebaran persoalan yang dampaknya akan kian mengganggu stabilitas politik dan kamnas. (*)