Milenial

Oleh: Mohammad Sabri

MESKIPUN udara saat itu gerah, matahari menusuk hingga ke nadi bumi dan angin malas melesap, Marcus Tullius Cicero—pada pengujung tahun 63 SM—dengan  nada geram dan berapi-api meluahkan tanya retorik di hadapan tak kurang 600 senator Republik Roma: “Quo usque tandem abutere, Catalina, patientia nostra”?— “Sampai kapan Catalina, kau akan terus menguji kesabaran kami”? Dengan pesona yang kuat, Cicero—filsuf, orator, dan juga politisi kawakan Romawi—mengutuk konspirasi busuk Catalina, politisi korup-kontroversi  yang haus kuasa dan punya hasrat menggulingkan Republik Roma.

Ketika itu, Cicero (106-43 SM) dengan piawai “membuka aib” skenario pemberontakan Catalina, lalu meminta agar senat segera menjatuhi hukuman mati bagi Catalina. Bagi sementara pihak Catalina adalah hero karena mengusung ide revolusi agraria. Tapi di mata Cicero, Catalina tak lebih dari pecundang yang berulang kali menguji kesabaran publik Romawi lewat serangkaian kejahatan yang dibikinnya.

Napas sejarah menjadi saksi, setidaknya dalam rekaman Mary Beard, SPQR: A History of Ancient Rome (2015), jika tindakan “nekat” Catalina itu dipicu oleh hutang yang melilitnya menyusul kekalahan berturt-turut dalam pemilihan konsul, jabatan politik paling bergengsi di Romawi. Beard mencatat, jabatan publik di Roma kala itu, bisa jadi sangat mahal. Agar terpilih, kandidat harus merogoh kocek tak sedikit guna merebut simpati rakyat.

Keruntuhan keadaban politik-demokrasi pada pengujung Republik Romawi sebelum ditaklukkan Julius Caesar, bisa jadi permenungan atas apa yang tengah berlangsung di tanah air kini. Paras politisi kita pun tak jauh dari kisah kontroversi. Melalui media massa dan media sosial, publik bisa meraup informasi luas soal prilaku sebagian politisi kita yang dikepungan hidup glamour, terjerat kasus narkoba, suap, korupsi, life style mentereng dan aksi manipulasi.

Satu lagi, politisi di Indonesia masih meletakkan politik sebagai mata pencarian. Kalaupun ia tak cukup banyak uang—berbeda dengan kandidat di masa Republik Romawi semisal Catalina yang berani beurutang demi ambisi politik—sebagian politisi di Indonesia meminta pebisnis membiayai kegiatan politiknya dengan kompensasi ketika terpilih kelak ia akan “mebanjiri” pebisnis bersangkutan dengan aneka proyek yang menggiurkan. Akibatnya demoralisasi politik-demokrasi kita meluncur ke titik paling beku.

Di tengah kabut kehidupan politik-demokrasi tersebut, sebilah cahaya-asa serta merta terbit, menyusul tumbuh mekarnya “generasi milineal.” Sebuah anggitan yang oleh Neil Howe dan William Strauss dalam Millineal Rising: The Next Great Generation (2000), diandaikan sebagai generasi yang memiliki ciri: berpikir strategis, inspiratif, inovatif, interpersonal, energik, antusias, egaliter, digital native, dan diproyeksi bakal menjadi pemimpin yang kuat di masa depan yang dekat. Ditambahkan, generasi milineal—mereka  yang lahir pasca 1990-an—juga peduli terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan budaya yang secara signifikan memperkuat civil society dan negara.

Generasi milineal—lanjut Howe dan Strauss—bisa  menjadi hero, jika mampu menghalau krisis yang mengepung bangsanya. Jika gagal, energi raksasa mereka akan menjadi gelombang pemukulan balik bagi eksistensi, asa, dan cita-cita bangsanya. Mereka bisa menjadi kekuatan pengubah, tapi sebaliknya juga bisa menjadi kekuatan negatif dan menyuburkan kediktatoran. Di titik ini tak sedikit kalangan berpandangan sinis jika generasi milineal tidak punya kematangan sosial, sulit diatur, kering loyalitas, tidak sabar, dan instan.

Di panggung politik tanah air, tak sedikit generasi milineal bermunculan. Mulai dari bupati, walikota, gubernur, menteri, legislator, senator hingga ke staf khusus kepresidenan. Mereka menjadi harapan publik untuk membangun dan mentransmisi karakter politik smart di entitas masing-masing. Pemimpin muda, jika menciptakan semangat dan kultur baru sesuai ciri generasi milineal, bakal menjadi “darah segar” yang mengembuskan angin transformasi sekaligus terapi kesembuhan bagi demokrasi kita yang—dalam  sejumlah studi sosial politik—kini dilanda lesu darah.

Sebaliknya, jika mereka tak mampu keluar dari hegemoni sebagian “generasi seniornya” yang cenderung egois, tuna-nalar, dan tumpu akal budi, mereka bakal menjadi pemimpin “mati sebelum berkembang. Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin baru yang muda dan menyegarkan. Tentu saja, upaya ini harus diimbangi dengan pencerdasan arena-arena demokrasi yang mengandaikan politisi generasi milineal memiliki pergaulan-dialektis dengan kelompok-kelompok strategis civil society. Jika hal ini pun tak mampu mengubah kultur politisi kita, pertanyaan retorik Cicero dua milinium silam agaknya relevan diajukan: Wahai para politisi, sampai kapan engkau akan menguji kesabaran kami?” (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).